FROM POTENSIAL TO ACTION
Oleh: Zainal Abidin, S.Sos.I
A. Pendahuluan
Istilah
“religious peacebuilding”, mengutip David Little dan Scott Appleby,[1]
merujuk pada serangkaian aktivitas yang dilaksanakan oleh institusi dan aktor
keagamaan untuk memecahkan dan merubah konflik berdarah menuju upaya untuk membangun
hubungan dan kehidupan sosial, bahkan institusi politik yang toleran dan
anti-kekerasan. “Membangun perdamaian” (peacebuilding),
meniscayakan transformasi konflik dan peniadaan kekerasan dengan non-kekerasan
dalam menyelesaikan setiap perselisihan, yang hal itu akan terjadi jika ada
saling melengkapi antara manajemen konflik dan resolusi konflik. Peacebuilding
telah banyak diupayakan perwujudannya di antaranya melalui manajemen dan resolusi
konflik.[2]
Asumsi
sebagian masyarakat tentang adanya keterkaitan berdasarkan pengalaman antara
agama dan kekerasan menarik untuk dicermati. Asumsi ini setidak-tidaknya
berdasarkan pada pengalaman sejarah bangsa Indonesia yang telah menempatkan
agama sebagai disequilibrium. Simbol-simbol
agama dapat dipakai untuk membenarkan kesemua elemen konflik tersebut secara
bertahap atau bersama-sama. Simbol-simbol keagamaan dapat dipakai untuk menjadi
dasar atau pembenar, pada saat pendukung konflik terbentuk.[3]
Mengutip
dari teori Durkheim bahwa kunci agama bukanlah keyakinan tetapi upacara sosial
yang dilakukan oleh pemeluknya. Karena itu agama adalah kunci solidaritas
sosial dan keyakinan agama memiliki makna penting sebagai simbol kelompok
sosial.[4]
Dari
paparan singkat di atas dapat dilihat agama sebagai sebuah kekuatan yang
powerful dalam kehidupan manusia. Ia terlibat, baik dalam konflik maupun peacebuilding (membangun damai). Banyak
orang meyakini agama sebagai kekerasan (violence)
dan, di banyak tempat dan waktu, agama telah menjadi sebuah kekuatan kedamaian
dan keadilan sosial. Namun perbedaan-perbedaan identitas dan ide-ide keagamaan
seringkali menjadi penyebab konflik dan dijadikan “tameng” dalam persaingan
duniawi.
Perjanjian
Lama, Perjanjian Baru, dan Al-Quran semuanya mengandung larangan akan kekerasan
dan memerintahkan membela mereka yang lemah karena alasan kemanusiaan. Semua
kitab suci itu berbicara tentang iman dengan cinta, kasih, kebaikan, dan damai.
Walaupun, pada kenyataannya tidak demikian, di samping agama menekankan
kebaikan, kemurahan hati, dan rekonsiliasi, ia juga ternyata mendorong perang
dan kekerasan.
Dalam
makaalah ini penulis
akan mencoba membahas tentang Religion and Peacebuilding yang difokuskan pada
bagaimana agama menyelesaikan masalahnya sendiri sebagai aktualisasi potensi
damai yang dimilikinya, serta bagaimana para aktor agama, politisi yang saling menopang dalam peacebuilding.
B. Menuju Religious Peacebuilding
Sejak
Perang Salib, Inkuisi, dan perang-perang suci masa lalu sampai berbagai bentuk
Jihad dan apa yang disebut konflik-konflik keagamaan akhir-akhir ini, agama
memperlihatkan bukti sejarah keterlibatan yang panjang di dalam kekerasan dan
perang. Sepanjang tiga millenium yang telah lalu, sudah tak terhitung jumlahnya
manusia terbunuh atas nama Tuhan meskipun semua agama besar dunia melarang
keras pembunuhan tentu juga oleh agama lokal dan kearifannya. Bahkan saat
sekarang ini, agama nampaknya masih dipandang sebagai kontributor utama untuk
intoleransi, pelanggaran hak-hak kemanusiaan, dan kekerasan ekstrimisme.[5]
Semua itu telah membawa kesengsaraan dan penderitaan bagi dunia tempat di mana
manusia dan agama hidup dan berkembang.
Pada
abad ke 20 skenario dunia berubah cukup cepat, dunia tidak ingin terlena dengan
apa yang dinamakan kebijakan konvensional, visi-visi tradisional dan kerentanan
politik. Sekarang ini telah tumbuh para konstituen trans-nasional yang
mempertanyakan pendekatan tradisional konsep kekuasaan, keamanan, kedaulatan,
hubungan ras, dan peran agama dalam kehidupan masyarakat.[6]
Muslim dan non-muslim sama-sama menghadapi tantangan baru pada abad ke 21.
Kekuatan globalisasi telah membuat kita saling bergantung secara politik,
ekonomi dan lingkungan, migrasi massal kaum muslimin pada abad ke dua puluh
menghasilkan komunitas imigran baru di Amerika dan Eropa yang ikut memperkaya
masyarakat, tetapi juga mengakibatkan ketidaknyamanan sosial. Bagaimanapun,
terlepas dari harapan dan ketakutan muslim dan non-muslim atas terjadinya
serangan 11 september dan perang melawan terorisme, mengindikasikan tranformasi
besar dalam sejarah dan hubungan global antara dunia Islam dan Barat.[7]
Sebagaimana
semua agama dan ideologi yang sangat kuat dan memaksa, islam mempunyai sejarah
seperti agama yang lain, islam mengakui keberadaan suatu realitas Yang
Mahatinggi, bagi kaum muslim, Allah adalah satu-satunya Tuhan Mahakuasa, Maha
Pengasih, Maha Pemurah, Pencipta dan pengatur alam semesta serta hakim pada
hari akhir umat manusia. Dia mempersilakan dan memungkinkan umat manusia
melampaui keterbatasannya, mengikuti jalan-Nya yang benar, menjalani kehidupan
yang bertanggung jawab secara moral dan bekerja untuk menciptakan masyarakat
yang adil. Sementara itu sebagaimana kepercayaan lainnya, islam dalam
sejarahnya bukan hanya sumber kasih, moralitas dan kebijakan, melainkan juga
teror, ketidakadilan dan penindasan.[8]
Oleh
karena itu dapat dipahami apabila keyakinan bahwa agama dapat memainkan suatu
peran bagi pencegahan, pengurangan, dan resolusi konflik, atau dalam pencipta
kedamaian (peacemaking) dan membangun
perdamaian (peacebuilding)
paska-konflik, seringkali disikapi secara skeptis untuk tidak mengatakan
ditolak. Kenyataannya, ketidaksesuaian antara idealitas agama-agama sebagai
ajaran damai dan kenyataannya sebagai kekuatan yang selalu mewariskan berbagai
konflik dan kekerasan tidak hanya disikapi secara kritis tetapi bahkan
melahirkan sinisme.
Namun
demikian terdapat bukti dan argumen bahwa tradisi agama-agama dunia,
sebenarnya, dengan ciri dan cara yang berbeda-beda, menawarkan pandangan dan
petunjuk yang sangat kaya dalam menyerukan kedamaian atau “peace” ini. Kendalanya, terutama pada dunia sekuler Barat, adalah
bagaimana membawa ajaran-ajaran damai agama demikian dalam agenda politik
secara konstruktif dan praktis.[9]
Tantangannya,
sebenarnya meliputi dua hal. Pertama,
adalah memahami secara jelas agama dalam episode-episode konflik tertentu dan
hubungannya dengan faktor-faktor penyebab konflik kekerasan lainnya, terutama
keinginan untuk mempengaruhi perubahan struktural, ekonomi, politik, dan
sosial. Peristiwa WTC 11 September 2001, menegaskan konflik-konflik abad 21 yang
semakin kompleks, bahkan menjadi inspirasi global, dan menakutkan semua orang.
Diperlukan pencegahan efektif dan seni managemen konflik. Kedua, adalah bagaimana mengintegrasikan kebijaksanaan (wisdom),
spirit, dan teknik-teknik tradisi-tradisi keagamaan dunia ke dalam politik
serta managemen, resolusi, dan pencegahan konflik.
Di
sini dapat diajukan sebuah argumen, bahwa kegagalan memahami tempat agama dalam
dinamika konflik dan perdamaian (peacemaking) dapat menyebabkan kesalahpahaman,
ketidaktepatan, dan terkadang melahirkan kebijakan dan aksi-aksi yang merugikan.
Dan yang lebih dikhawatirkan, hilangnya kesempatan. Untuk kepentingan ini
banyak para agamawan dan penggiat perdamaian telah mencoba mengintegrasikan
potensi damai agama ke dalam agenda sosial dan politik.[10]
Jadi
dapat dipahami bahwa, untuk melihat potensi damai dari agama tersebut diperlukan
paling tidak, pertama-tama, “pemahaman tentang agama”, dan kedua, “aksi atau
tindakan”. Karena pada kenyataannya agama-agama secara teoritis telah
menawarkan nasihat bijak tentang bagaimana mencegah, meredam, dan memecahkan
konflik, dan semua itu belum terungkap secara baik. Juga, bagaimana agama memelihara
upaya-upaya pecebuilding yang bisa
digunakan para agamawan, politisi, dalam mempromosikan perdamaian secara lebih
baik. Fokusnya adalah bagaimana mempraktekkan
teori-teori damai agama dalam aksi atau tindakan.[11]
Ketika
agama menjadi sumber atau pembenaran konflik, sesungguhnya agama itu sedang
berperan atau diperankan menganjurkan kekerasan. Tetapi masalahnya semua orang
tahu bahwa semua agama mengajarkan perdamaian. Di sinilah dilemanya, apakah
cita suatu agama itu sebagai penganjur kekerasan atau kedamaian, bukanlah
terletak pada sisi ajaran agama itu saja tetapi lebih banyak ditentukan oleh
kelembagaan di kepemimpinan pendukung agama itu.[12]
Agama yang akan dihayati sebagai sebuah wadah dan manifestasi pencarian makna
hidup manusia melalui aktualisasi kemanusiaannya, tapi bagi sekelompok
masyarakat agama akan kehilangan bingkai-bingkai formalnya atau yang lebih
mendekati, manusia akan bingkai dan simbol-simbol baru yang dihayati lebih
cocok dengan pilihan dan tingkat peradabannya.[13]
Pembahasan
tentang ajaran damai agama-agama besar dunia, yang bisa ditemukan, adalah bahwa
semua mengajarkan perdamaian; perlakukan orang lain sebagaimana kamu ingin
diperlakukan oleh mereka. Semua agama itu menjunjung tinggi nilai-nilai
kebaikan, kebesaran dan kemurahan hati, empati, rendah hari, sabar, disiplin
diri, sikap moderat, dan pemaaf. Demikian semuanya sama-sama mengakui
nilai-nilai optmistis, oleh karenanya para teoritis konflik sepakat jika agama
merupakan pelopor perdamaian.[14]
Mengutip
dari telaah David Little bahwa religion
and peace terbagi ke dalam empat area utama: pertama, peace enforcement (penyelenggaraan perdamaian). Kedua, peacemaking, berupa penyelesaian
kesepakatan perdamaian antara pihak yang terlibat konflik. Ketiga, peacekeeping, bisanya, tetapi tidak
selalu, dibutuhkan bantuan militer untuk menjaga pelaksanaan kesepakatan damai.
Keempat, peacebuilding, merupakan
sebuah upaya menciptakan lembaga dan kekuatan bersama untuk menyokong dan
mempertahankan perdamaian.
C.
Pelajaran Yang Ditawarkan Dalam Membangun Kultur
Perdamaian
Islam
dan kekerasan sering dianggap sebagai satu kesatuan, sehingga orang hampir
tidak dapat melihat bahwa Islam itu anti-kekerasan. Sebuah peribahasa “Islam
ditangan yang satu dan pedang ditangan
yang lainnya,” seolah-olah Islam dan anti-kekerasan merupakan suatu bagian yang
tidak terpisahkan sebagaimana yang dipahami oleh orang-orang diluar islam.
Mengutip
dari tulisan Dr.Nagendra, kesalahpahaman tentang memahami islam, ini didasari
oleh dua faktor, pertama, tidak
adanya kajian, pemahaman dan evaluasi tentang islam dalam perspektif yang
benar. Kedua, kurang dan tidak
lengkapnya konsep anti-kekerasan. Faktor pertama didasarkan atas dua hal yaitu:
tidak adanya kemampuan para sarjana muslim untuk membangun agama sebagaimana
mestinya, tidak hanya dalam dataran praktis namun juga dalam pengajaran dan
penyampaiannya dan adanya praduga-praduga yang salah terhadap islam dan
pemeluknya. Faktor kedua yang perlu diperhatikan adalah sifat dasar yang pasti
mengenai anti-kekerasan dalam tradisi (agama) islam. Apakah anti-kekerasan
berarti menjauhi terjadinya luka fisik terhadap mahluk hidup, tidak peduli pada
lingkungan sekitarnya atau yang terjadi disekitar kita.[15]
Mengutip
dari Muhammad Ali tentang Pendidikan perdamaian, pertama-tama, proses
penyadaran untuk mengubah pandangan hidup dari budaya violence menuju budaya
peace dan non-violence, kedua,
mengembangkan pemahaman kritis mengenai akar-akar konflik dan kekerasan, dan
ketiga, memberdayakan masyarakat untuk terlibat dalam aksi perdamaian baik
secara personal maupun sosial. Dengan demikian pendidikan perdamaian dan
menyadarkan masyarakat tentang kekuatan perdamaian dan mengubah “pola pikir”
dan “perilaku kekerasan” yang telah membudaya, dan merubah cara-cara kekerasan
dengan kesadaran perdamaian yang menghargai kerja sama, kebaikan, kejujuran,
kasih sayang, toleransi, kedermawanan, dan keadilan.[16]
Pendidikan perdamaian memerlukan pemikiran dan
aksi yang mendasar, mulai dari keluarga,
pendidikan formal dan non-formal, serta media. Yang sangat penting sekali,
non-kekerasan terlembagakan dalam berbagai perjuangan akar rumput (grass root)
dan civil society. Jika tidak ada proses pendidikan perdamaian (peace education) yang konsisten bagi
transformasi budaya kekerasan menuju budaya perdamaian (culture of peace), maka akan terjadi kemungkinan-kemungkinan yang
membawa cara-cara tidak mendamaikan dan ketidaklanggengan proses perdamaian. Menurut
hemat pemakalah, hendaknya masyarakat dan elemen yang terkait harus di didik
dengan keterampilan pemecahan masalah dan resolusi konflik agar mereka lebih
bijak dalam berperilaku sosial.
Mengakhiri
makalah ini, penulis mengutuip dari tulisan Hans Kung, “jika para pemimpin
semua agama, yang besar dan bahkan yang kecil, hari ini memutuskan untuk
memberikan ekspresi tegas atas tanggung jawab mereka terhadap perdamaian, cinta
kasih dan non-kekerasan demi rekonsiliasi dan kesediaan untuk memaafkan dan
seluruh agama dunia saat ini menyadari keterlibatan yang konstruktif untuk
perdamaian dunia, maka tidak ada perdamaian antar bangsa tanpa perdamaian antar
agama atau lebih singkatnya “tidak ada perdamaian dunia tanpa perdamaian agama-agama”.[17]
D.
Kesimpulan
Dari
makalah diatas dapat pemakalah simpulkan bahwa ada beberapa hal yang yang harus
kita lakukan dalam membangun perdamaian,
pertama, pencegahan kekerasan
yang menitikberatkan strategi-strategi penciptaan perdamaian (peacekeeping) dalam menjaga keamanan,
ketenangan, dan damai. Kedua,
program-program resolusi konflik dengan teknik-teknik penciptaan perdamaian (peacekeeping) untuk mengelola konflik. Ketiga, membangun kesadaran cinta
perdamaian (peacebuilding).
Diharapkan dari semua itu tercipta budaya masyarakat “sadar perdamaian” dan
anti-kekerasan.
Selain
itu para wakil agama, tokoh politik dan ormas perlu bertemu secara berkala
untuk memajukan dialog antaragama dan budaya, demi membangun harmoni dari
perspektif agama dan perdamain (religion
and peace).
Dua
pernyataan yang penting sebagai catatan penutup dari makalah ini, sebagaimana
dinyatakan Judy Carter and Gordon
S. Smith,[18] adalah, pertama, analisis, pencegahan, dan resolusi konflik, semuanya itu
memerlukan pertimbangan atau konsiderans agama baik dinamika konflik maupun
peacebuilding. Kedua, ajaran dan praktek-praktek agama pada dasarnya dapat
memberikan kontribusi strategis dalam mencegah, manajemen, resolusi konflik,
dan dalam mengkampanyekan perdamaian. Banyak kesempatan dan tempat strategis
pula bagi para pemimpin politik, aktivis pendidikan dan aktor keagamaan untuk
memainkan sumbangan nyatanya dalam menyelesaikan konflik, mencegah, dan membangun
“budaya” perdamaian.
DAFTAR
PUSTAKA
Ali, Muhammad. Teologi Pluralis Multikultural:
Menghargai Kemajemukan, Menjalin Kebersamaan. Jakarta: Penerbit Buku
Kompas, 2003.
Coward, Harold and Gordon S. Smith (eds.), Religion and
Peacebuilding. New York: State University of New York Press, 2004.
Esposito, John L.
“ Masa Depan Islam antara
tantangan kemajemukan dan benturan dengan Barat”, Bandung, Mizan, 2010
Konflik Etno Religius
Indonesia Kontemporer, Jakarta, Departemen Agama RI
Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan, Bagian Proyek Peningkatan Pengkajian
Kerukunan Hidup Umat Beragama, 2003.
Kung, Hans dkk, “Jalan
Dialog Hans Kung dan Perspektif Muslim,” Mizan, CRCS UGM bekerjasama dengan
ICRS Yogyakarta dan ICIP Jakarta
Kr. Singh, Dr. Nagendra “Etika Kekerasan Dalam Islam,” Yogyakarta, Pustaka Alief, 2003
Munir Mulkan, Abdul, dkk,”membongkar praktik kekerasan menggagas kultur Nir-Kekerasan”, (PSIF
UMM bekerjasama dengan Sinergi Press Yogyakarta, 2002). Hal 276.
[1] David Little dan Scot
Appleby, A Moment of Opportunity ?
The Promise of Religious Peacebuilding in an Era of Religious and Ethnic
Conflict, hlm. 5.
[3] Ini seperti pada tataran core konflik ketika social deprivation (penderitaan sosial) itu kebetulan mengenai
komunitas agama tertentu atau pada tataran pemicu konflik itu sendiri misalnya
kebetulan melibatkan sarana keagamaan, tokoh agama atau pada kesemua tataran
tersebut.
[4] Abdul Munir Mulkan, dkk,”membongkar
praktik kekerasan menggagas kultur Nir-Kekerasan”, (PSIF UMM bekerjasama
dengan Sinergi Press Yogyakarta, 2002). Hal 276.
[5] Judy Carter and Gordon S.
Smith, Religious Peacebuilding: From
Potensial to Action, dalam Harold
Coward dan Gordon S. Smith, Religion and
Peacebuilding (New York :
State University of New York Press, 2004), hlm. 279.
[6] Bahwa para pemilih perdamaian dan anti kekerasan inilah yang menentang
mavia Machiaveli secara konseptual, politik, ekonomi dan militer dan dengan
tegas menyatakan bahwa planet bumi ini bisa ditranformasikan secara substansial
dan cepat jika masyarakat dari semua agama secara kolektif berusaha keras
menciftakan dunia yang lebih baik, penuh kedamaian dan keadilan dan lebih
harmonis bagi warga masyakarat .
[7] Lihat John L. Esposito, “ Masa
Depan Islam antara tantangan kemajemukan dan benturan dengan Barat”, (Bandung,
Mizan, 2010). Hal. 31-32
[8] Ibit. Hal. 33
[12] Ini dapat kita lihat ketika Mahatma Gandhi di India yang anti
kekerasan telah membuat citra agama
Hindu sebagai agama yang anti kekerasan, meskipun orang Hindu yang lain
di negeri yang sama juga berbuat kekerasan terhadap orang-orang Islam.
[13] Inilah yang menggeser posisi
Kitab Suci, jika dimasa lalu dijadikan sumber justifikasi dan sumber otoritas
untuk menentukan perilaku umat beragama secara dogmatis, maka dimasa depan
Kitab Suci akan diposisikan sebagai mitra dialog, manusia semakin sadar bahwa dirinya
yang akan memberikan makna pada deretan huruf, kata dan kalimat pada kitab suci,
namun instansi terakhir yang membuat keputusan tentang pemaknaan adalah nurani
dan akal sehatnya sendiri.
[15] Lihat Dr. Nagendra Kr. Singh’ “Etika
Kekerasan Dalam Islam,” (Yogyakarta, Pustaka Alief, 2003). Hal. 9-10.
[16] Muhammad Ali. Teologi Pluralis-Multikultural: Menghargai
Kemajemukan, Menjalin Kebersamaan (Jakarta: Kompas, 2003), hlm. 163.
[17] Hans Kung, dkk, “Jalan Dialog
Hans Kung dan Perspektif Muslim,” (Mizan, CRCS UGM bekerjasama dengan ICRS
Yogyakarta dan ICIP Jakarta). Hal. 24.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar