Sabtu, 10 Maret 2012

RELIGIOUS PEACEBUILDING


FROM POTENSIAL TO ACTION
Oleh: Zainal Abidin, S.Sos.I

A.    Pendahuluan
Istilah “religious peacebuilding”, mengutip David Little dan Scott Appleby,[1] merujuk pada serangkaian aktivitas yang dilaksanakan oleh institusi dan aktor keagamaan untuk memecahkan dan merubah konflik berdarah menuju upaya untuk membangun hubungan dan kehidupan sosial, bahkan institusi politik yang toleran dan anti-kekerasan. “Membangun perdamaian” (peacebuilding), meniscayakan transformasi konflik dan peniadaan kekerasan dengan non-kekerasan dalam menyelesaikan setiap perselisihan, yang hal itu akan terjadi jika ada saling melengkapi antara manajemen konflik dan resolusi konflik. Peacebuilding telah banyak diupayakan perwujudannya di antaranya melalui manajemen dan resolusi konflik.[2]
Asumsi sebagian masyarakat tentang adanya keterkaitan berdasarkan pengalaman antara agama dan kekerasan menarik untuk dicermati. Asumsi ini setidak-tidaknya berdasarkan pada pengalaman sejarah bangsa Indonesia yang telah menempatkan agama sebagai disequilibrium. Simbol-simbol agama dapat dipakai untuk membenarkan kesemua elemen konflik tersebut secara bertahap atau bersama-sama. Simbol-simbol keagamaan dapat dipakai untuk menjadi dasar atau pembenar, pada saat pendukung konflik terbentuk.[3]
Mengutip dari teori Durkheim bahwa kunci agama bukanlah keyakinan tetapi upacara sosial yang dilakukan oleh pemeluknya. Karena itu agama adalah kunci solidaritas sosial dan keyakinan agama memiliki makna penting sebagai simbol kelompok sosial.[4]
Dari paparan singkat di atas dapat dilihat agama sebagai sebuah kekuatan yang powerful dalam kehidupan manusia. Ia terlibat, baik dalam konflik maupun peacebuilding (membangun damai). Banyak orang meyakini agama sebagai kekerasan (violence) dan, di banyak tempat dan waktu, agama telah menjadi sebuah kekuatan kedamaian dan keadilan sosial. Namun perbedaan-perbedaan identitas dan ide-ide keagamaan seringkali menjadi penyebab konflik dan dijadikan “tameng” dalam persaingan duniawi.
Perjanjian Lama, Perjanjian Baru, dan Al-Quran semuanya mengandung larangan akan kekerasan dan memerintahkan membela mereka yang lemah karena alasan kemanusiaan. Semua kitab suci itu berbicara tentang iman dengan cinta, kasih, kebaikan, dan damai. Walaupun, pada kenyataannya tidak demikian, di samping agama menekankan kebaikan, kemurahan hati, dan rekonsiliasi, ia juga ternyata mendorong perang dan kekerasan.
Dalam makaalah ini penulis akan mencoba membahas tentang Religion and Peacebuilding yang difokuskan pada bagaimana agama menyelesaikan masalahnya sendiri sebagai aktualisasi potensi damai yang dimilikinya, serta bagaimana para aktor  agama, politisi yang saling menopang dalam peacebuilding.

B.      Menuju Religious Peacebuilding
Sejak Perang Salib, Inkuisi, dan perang-perang suci masa lalu sampai berbagai bentuk Jihad dan apa yang disebut konflik-konflik keagamaan akhir-akhir ini, agama memperlihatkan bukti sejarah keterlibatan yang panjang di dalam kekerasan dan perang. Sepanjang tiga millenium yang telah lalu, sudah tak terhitung jumlahnya manusia terbunuh atas nama Tuhan meskipun semua agama besar dunia melarang keras pembunuhan tentu juga oleh agama lokal dan kearifannya. Bahkan saat sekarang ini, agama nampaknya masih dipandang sebagai kontributor utama untuk intoleransi, pelanggaran hak-hak kemanusiaan, dan kekerasan ekstrimisme.[5] Semua itu telah membawa kesengsaraan dan penderitaan bagi dunia tempat di mana manusia dan agama hidup dan berkembang.
Pada abad ke 20 skenario dunia berubah cukup cepat, dunia tidak ingin terlena dengan apa yang dinamakan kebijakan konvensional, visi-visi tradisional dan kerentanan politik. Sekarang ini telah tumbuh para konstituen trans-nasional yang mempertanyakan pendekatan tradisional konsep kekuasaan, keamanan, kedaulatan, hubungan ras, dan peran agama dalam kehidupan masyarakat.[6] Muslim dan non-muslim sama-sama menghadapi tantangan baru pada abad ke 21. Kekuatan globalisasi telah membuat kita saling bergantung secara politik, ekonomi dan lingkungan, migrasi massal kaum muslimin pada abad ke dua puluh menghasilkan komunitas imigran baru di Amerika dan Eropa yang ikut memperkaya masyarakat, tetapi juga mengakibatkan ketidaknyamanan sosial. Bagaimanapun, terlepas dari harapan dan ketakutan muslim dan non-muslim atas terjadinya serangan 11 september dan perang melawan terorisme, mengindikasikan tranformasi besar dalam sejarah dan hubungan global antara dunia Islam dan Barat.[7]
Sebagaimana semua agama dan ideologi yang sangat kuat dan memaksa, islam mempunyai sejarah seperti agama yang lain, islam mengakui keberadaan suatu realitas Yang Mahatinggi, bagi kaum muslim, Allah adalah satu-satunya Tuhan Mahakuasa, Maha Pengasih, Maha Pemurah, Pencipta dan pengatur alam semesta serta hakim pada hari akhir umat manusia. Dia mempersilakan dan memungkinkan umat manusia melampaui keterbatasannya, mengikuti jalan-Nya yang benar, menjalani kehidupan yang bertanggung jawab secara moral dan bekerja untuk menciptakan masyarakat yang adil. Sementara itu sebagaimana kepercayaan lainnya, islam dalam sejarahnya bukan hanya sumber kasih, moralitas dan kebijakan, melainkan juga teror, ketidakadilan dan penindasan.[8]
Oleh karena itu dapat dipahami apabila keyakinan bahwa agama dapat memainkan suatu peran bagi pencegahan, pengurangan, dan resolusi konflik, atau dalam pencipta kedamaian (peacemaking) dan membangun perdamaian (peacebuilding) paska-konflik, seringkali disikapi secara skeptis untuk tidak mengatakan ditolak. Kenyataannya, ketidaksesuaian antara idealitas agama-agama sebagai ajaran damai dan kenyataannya sebagai kekuatan yang selalu mewariskan berbagai konflik dan kekerasan tidak hanya disikapi secara kritis tetapi bahkan melahirkan sinisme.
Namun demikian terdapat bukti dan argumen bahwa tradisi agama-agama dunia, sebenarnya, dengan ciri dan cara yang berbeda-beda, menawarkan pandangan dan petunjuk yang sangat kaya dalam menyerukan kedamaian atau “peace” ini. Kendalanya, terutama pada dunia sekuler Barat, adalah bagaimana membawa ajaran-ajaran damai agama demikian dalam agenda politik secara konstruktif dan praktis.[9]
Tantangannya, sebenarnya meliputi dua hal. Pertama, adalah memahami secara jelas agama dalam episode-episode konflik tertentu dan hubungannya dengan faktor-faktor penyebab konflik kekerasan lainnya, terutama keinginan untuk mempengaruhi perubahan struktural, ekonomi, politik, dan sosial. Peristiwa WTC 11 September 2001, menegaskan konflik-konflik abad 21 yang semakin kompleks, bahkan menjadi inspirasi global, dan menakutkan semua orang. Diperlukan pencegahan efektif dan seni managemen konflik. Kedua, adalah bagaimana mengintegrasikan kebijaksanaan (wisdom), spirit, dan teknik-teknik tradisi-tradisi keagamaan dunia ke dalam politik serta managemen, resolusi, dan pencegahan konflik.
Di sini dapat diajukan sebuah argumen, bahwa kegagalan memahami tempat agama dalam dinamika konflik dan perdamaian (peacemaking) dapat menyebabkan kesalahpahaman, ketidaktepatan, dan terkadang melahirkan kebijakan dan aksi-aksi yang merugikan. Dan yang lebih dikhawatirkan, hilangnya kesempatan. Untuk kepentingan ini banyak para agamawan dan penggiat perdamaian telah mencoba mengintegrasikan potensi damai agama ke dalam agenda sosial dan politik.[10]
Jadi dapat dipahami bahwa, untuk melihat potensi damai dari agama tersebut diperlukan paling tidak, pertama-tama, “pemahaman tentang agama”, dan kedua, “aksi atau tindakan”. Karena pada kenyataannya agama-agama secara teoritis telah menawarkan nasihat bijak tentang bagaimana mencegah, meredam, dan memecahkan konflik, dan semua itu belum terungkap secara baik. Juga, bagaimana agama memelihara upaya-upaya pecebuilding yang bisa digunakan para agamawan, politisi, dalam mempromosikan perdamaian secara lebih baik. Fokusnya adalah bagaimana mempraktekkan teori-teori damai agama dalam aksi atau tindakan.[11]
Ketika agama menjadi sumber atau pembenaran konflik, sesungguhnya agama itu sedang berperan atau diperankan menganjurkan kekerasan. Tetapi masalahnya semua orang tahu bahwa semua agama mengajarkan perdamaian. Di sinilah dilemanya, apakah cita suatu agama itu sebagai penganjur kekerasan atau kedamaian, bukanlah terletak pada sisi ajaran agama itu saja tetapi lebih banyak ditentukan oleh kelembagaan di kepemimpinan pendukung agama itu.[12] Agama yang akan dihayati sebagai sebuah wadah dan manifestasi pencarian makna hidup manusia melalui aktualisasi kemanusiaannya, tapi bagi sekelompok masyarakat agama akan kehilangan bingkai-bingkai formalnya atau yang lebih mendekati, manusia akan bingkai dan simbol-simbol baru yang dihayati lebih cocok dengan pilihan dan tingkat peradabannya.[13]
Pembahasan tentang ajaran damai agama-agama besar dunia, yang bisa ditemukan, adalah bahwa semua mengajarkan perdamaian; perlakukan orang lain sebagaimana kamu ingin diperlakukan oleh mereka. Semua agama itu menjunjung tinggi nilai-nilai kebaikan, kebesaran dan kemurahan hati, empati, rendah hari, sabar, disiplin diri, sikap moderat, dan pemaaf. Demikian semuanya sama-sama mengakui nilai-nilai optmistis, oleh karenanya para teoritis konflik sepakat jika agama merupakan pelopor perdamaian.[14]
Mengutip dari telaah David Little bahwa religion and peace terbagi ke dalam empat area utama: pertama, peace enforcement (penyelenggaraan perdamaian). Kedua, peacemaking, berupa penyelesaian kesepakatan perdamaian antara pihak yang terlibat konflik. Ketiga, peacekeeping, bisanya, tetapi tidak selalu, dibutuhkan bantuan militer untuk menjaga pelaksanaan kesepakatan damai. Keempat, peacebuilding, merupakan sebuah upaya menciptakan lembaga dan kekuatan bersama untuk menyokong dan mempertahankan perdamaian.

C.      Pelajaran Yang Ditawarkan Dalam Membangun Kultur Perdamaian
Islam dan kekerasan sering dianggap sebagai satu kesatuan, sehingga orang hampir tidak dapat melihat bahwa Islam itu anti-kekerasan. Sebuah peribahasa “Islam ditangan yang satu  dan pedang ditangan yang lainnya,” seolah-olah Islam dan anti-kekerasan merupakan suatu bagian yang tidak terpisahkan sebagaimana yang dipahami oleh orang-orang diluar islam.
Mengutip dari tulisan Dr.Nagendra, kesalahpahaman tentang memahami islam, ini didasari oleh dua faktor, pertama, tidak adanya kajian, pemahaman dan evaluasi tentang islam dalam perspektif yang benar. Kedua, kurang dan tidak lengkapnya konsep anti-kekerasan. Faktor pertama didasarkan atas dua hal yaitu: tidak adanya kemampuan para sarjana muslim untuk membangun agama sebagaimana mestinya, tidak hanya dalam dataran praktis namun juga dalam pengajaran dan penyampaiannya dan adanya praduga-praduga yang salah terhadap islam dan pemeluknya. Faktor kedua yang perlu diperhatikan adalah sifat dasar yang pasti mengenai anti-kekerasan dalam tradisi (agama) islam. Apakah anti-kekerasan berarti menjauhi terjadinya luka fisik terhadap mahluk hidup, tidak peduli pada lingkungan sekitarnya atau yang terjadi disekitar kita.[15]
Mengutip dari Muhammad Ali tentang Pendidikan perdamaian, pertama-tama, proses penyadaran untuk mengubah pandangan hidup dari budaya violence menuju budaya peace dan non-violence, kedua, mengembangkan pemahaman kritis mengenai akar-akar konflik dan kekerasan, dan ketiga, memberdayakan masyarakat untuk terlibat dalam aksi perdamaian baik secara personal maupun sosial. Dengan demikian pendidikan perdamaian dan menyadarkan masyarakat tentang kekuatan perdamaian dan mengubah “pola pikir” dan “perilaku kekerasan” yang telah membudaya, dan merubah cara-cara kekerasan dengan kesadaran perdamaian yang menghargai kerja sama, kebaikan, kejujuran, kasih sayang, toleransi, kedermawanan, dan keadilan.[16]
 Pendidikan perdamaian memerlukan pemikiran dan aksi yang mendasar,  mulai dari keluarga, pendidikan formal dan non-formal, serta media. Yang sangat penting sekali, non-kekerasan terlembagakan dalam berbagai perjuangan akar rumput (grass root) dan civil society. Jika tidak ada proses pendidikan perdamaian (peace education) yang konsisten bagi transformasi budaya kekerasan menuju budaya perdamaian (culture of peace), maka akan terjadi kemungkinan-kemungkinan yang membawa cara-cara tidak mendamaikan dan ketidaklanggengan proses perdamaian. Menurut hemat pemakalah, hendaknya masyarakat dan elemen yang terkait harus di didik dengan keterampilan pemecahan masalah dan resolusi konflik agar mereka lebih bijak dalam berperilaku sosial.
Mengakhiri makalah ini, penulis mengutuip dari tulisan Hans Kung, “jika para pemimpin semua agama, yang besar dan bahkan yang kecil, hari ini memutuskan untuk memberikan ekspresi tegas atas tanggung jawab mereka terhadap perdamaian, cinta kasih dan non-kekerasan demi rekonsiliasi dan kesediaan untuk memaafkan dan seluruh agama dunia saat ini menyadari keterlibatan yang konstruktif untuk perdamaian dunia, maka tidak ada perdamaian antar bangsa tanpa perdamaian antar agama atau lebih singkatnya “tidak ada perdamaian dunia tanpa perdamaian agama-agama”.[17]

D.      Kesimpulan
Dari makalah diatas dapat pemakalah simpulkan bahwa ada beberapa hal yang yang harus kita lakukan dalam membangun perdamaian, pertama, pencegahan kekerasan yang menitikberatkan strategi-strategi penciptaan perdamaian (peacekeeping) dalam menjaga keamanan, ketenangan, dan damai. Kedua, program-program resolusi konflik dengan teknik-teknik penciptaan perdamaian (peacekeeping) untuk mengelola konflik. Ketiga, membangun kesadaran cinta perdamaian (peacebuilding). Diharapkan dari semua itu tercipta budaya masyarakat “sadar perdamaian” dan anti-kekerasan.
Selain itu para wakil agama, tokoh politik dan ormas perlu bertemu secara berkala untuk memajukan dialog antaragama dan budaya, demi membangun harmoni dari perspektif agama dan perdamain (religion and peace).
Dua pernyataan yang penting sebagai catatan penutup dari makalah ini, sebagaimana dinyatakan Judy Carter and Gordon S. Smith,[18] adalah, pertama, analisis, pencegahan, dan resolusi konflik, semuanya itu memerlukan pertimbangan atau konsiderans agama baik dinamika konflik maupun peacebuilding. Kedua, ajaran dan praktek-praktek agama pada dasarnya dapat memberikan kontribusi strategis dalam mencegah, manajemen, resolusi konflik, dan dalam mengkampanyekan perdamaian. Banyak kesempatan dan tempat strategis pula bagi para pemimpin politik, aktivis pendidikan dan aktor keagamaan untuk memainkan sumbangan nyatanya dalam menyelesaikan konflik, mencegah, dan membangun “budaya” perdamaian.

DAFTAR PUSTAKA
Ali, Muhammad. Teologi Pluralis Multikultural: Menghargai Kemajemukan, Menjalin Kebersamaan. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2003.

Coward, Harold and Gordon S. Smith (eds.), Religion and Peacebuilding. New York: State University of New York Press, 2004.

Esposito, John L.  “ Masa Depan Islam antara tantangan kemajemukan dan benturan dengan Barat”, Bandung, Mizan, 2010

Konflik Etno Religius Indonesia Kontemporer, Jakarta, Departemen Agama RI Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan, Bagian Proyek Peningkatan Pengkajian Kerukunan Hidup Umat Beragama, 2003.

Kung, Hans dkk, “Jalan Dialog Hans Kung dan Perspektif Muslim,” Mizan, CRCS UGM bekerjasama dengan ICRS Yogyakarta dan ICIP Jakarta

Kr. Singh, Dr. Nagendra “Etika Kekerasan Dalam Islam,” Yogyakarta, Pustaka Alief, 2003

Munir Mulkan, Abdul, dkk,”membongkar praktik kekerasan menggagas kultur Nir-Kekerasan”, (PSIF UMM bekerjasama dengan Sinergi Press Yogyakarta, 2002). Hal 276.




[1] David Little dan Scot Appleby, A Moment of Opportunity? The Promise of Religious Peacebuilding in an Era of Religious and Ethnic Conflict, hlm. 5.
[2] Ibid.                                                                                                                                                 
[3] Ini seperti pada tataran core  konflik ketika social deprivation (penderitaan sosial) itu kebetulan mengenai komunitas agama tertentu atau pada tataran pemicu konflik itu sendiri misalnya kebetulan melibatkan sarana keagamaan, tokoh agama atau pada kesemua tataran tersebut.
[4] Abdul Munir Mulkan, dkk,”membongkar praktik kekerasan menggagas kultur Nir-Kekerasan”, (PSIF UMM bekerjasama dengan Sinergi Press Yogyakarta, 2002). Hal 276.
[5] Judy Carter and Gordon S. Smith, Religious Peacebuilding: From Potensial to Action, dalam  Harold Coward dan Gordon S. Smith, Religion and Peacebuilding (New York: State University of New York Press, 2004), hlm. 279.

[6] Bahwa para pemilih perdamaian dan anti kekerasan inilah yang menentang mavia Machiaveli secara konseptual, politik, ekonomi dan militer dan dengan tegas menyatakan bahwa planet bumi ini bisa ditranformasikan secara substansial dan cepat jika masyarakat dari semua agama secara kolektif berusaha keras menciftakan dunia yang lebih baik, penuh kedamaian dan keadilan dan lebih harmonis bagi warga masyakarat .
[7] Lihat John L. Esposito, “ Masa Depan Islam antara tantangan kemajemukan dan benturan dengan Barat”, (Bandung, Mizan, 2010). Hal. 31-32
[8] Ibit. Hal. 33
[9] Judy Carter and Gordon S. Smith, Religious Peacebuilding.........................., hlm. 279.


[10] Judy Carter and Gordon S. Smith, Religious Peacebuilding........................ hlm. 280.
[11] Ibid.
[12] Ini dapat kita lihat ketika Mahatma Gandhi di India yang anti kekerasan telah membuat citra agama  Hindu sebagai agama yang anti kekerasan, meskipun orang Hindu yang lain di negeri yang sama juga berbuat kekerasan terhadap orang-orang Islam.
[13] Inilah yang  menggeser posisi Kitab Suci, jika dimasa lalu dijadikan sumber justifikasi dan sumber otoritas untuk menentukan perilaku umat beragama secara dogmatis, maka dimasa depan Kitab Suci akan diposisikan sebagai mitra dialog, manusia semakin sadar bahwa dirinya yang akan memberikan makna pada deretan huruf, kata dan kalimat pada kitab suci, namun instansi terakhir yang membuat keputusan tentang pemaknaan adalah nurani dan akal sehatnya sendiri.
[14] Judy Carter and Gordon S. Smith, Religious Peacebuilding........................ hlm. 208
[15] Lihat Dr. Nagendra Kr. Singh’ “Etika Kekerasan Dalam Islam,” (Yogyakarta, Pustaka Alief, 2003). Hal. 9-10.
[16] Muhammad Ali. Teologi Pluralis-Multikultural: Menghargai Kemajemukan, Menjalin Kebersamaan (Jakarta: Kompas, 2003), hlm. 163.

[17] Hans Kung, dkk, “Jalan Dialog Hans Kung dan Perspektif Muslim,” (Mizan, CRCS UGM bekerjasama dengan ICRS Yogyakarta dan ICIP Jakarta). Hal. 24.
[18] Judy Carter and Gordon S. Smith, Religious Peacebuilding…., hlm. 291.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar