The Possibility Of Using Religion Or Media
For Complict Resolusion
A. Pendahuluan
Keberadaan
negara bangsa (nation state) merupakan
kesepakatan final dari para founding
father, sebagai bentuk pengakuan terhadap pluralitas yang menjadi pilar
tegaknya negara Indonesia. Dalam sejarah bangsa kita, kemajemukan telah
melahirkan perpaduan yang sangat indah dalam berbagai bentuk mozaik budaya.
Berbagai suku, agama, adat istiadat dan budaya dapat hidup berdampingan dan
memiliki ruang negosiasi yang sangat tinggi dalam kehidupan sehari-hari. Namun
keragaman yang terajut indah itu kini terkoyak dan tercabik-cabik oleh sikap
eksklusif yang tumbuh dari akar primordialisme seperti kesukuan, agama dan
golongan.
Dalam sejarah kehidupan umat manusia, hampir-hampir
tidak pernah melewati era tanpa konflik. Kapan dan dimana pun umat manusia tidak pernah
terbebas dari konflik, pertengkaran, dan perselisihan. Konflik bisa saja terjadi
pada diri pribadi, keluarga, organisasi, maupun lembaga. Belum lagi konflik antar etnis,
antar ras, suku,
agama, dan juga negara. Bahkan ilrnu pengetahuan dalam proses mencapai kemajuannya pun selalu mengalami konflik atau krisis. Kalau kita lihat yang menjadi permasahan sehingga
terjadi konflik adalah perbedaan. Perbedaan
ras, etnis, kulit, kelas,
ekonomi, bahasa, budaya, agama, pengetahuan, tingkat penguasaan iptek, gender dan umur merupakan
wilayah yang sangat
subur sebagai cikal bakal dan sekaligus sebagai tempat subur untuk benih-benih konflik.[1]
Perbedaan itu sendiri ada secara alami
karena terbentuk oleh keyakinan,
belief, pandangan hidup atau wolrd view. Keyakinan atau belief, lebih-lebih yang dogmatis-ideologis, dibentuk oleh kepentingan-kepentingan untuk mempertahankan diri atau kelompok (Survival far the fittest). Dengan begitu konflik adalah bagian tak terpisahkan dari kehidupan sosial.
Beberapa hasil penelitian mengenai konflik agama baik di masa Orde Baru maupun di masa
reformasi menunjukkan betapa penting peran pemerintah baik langsung maupun
tidak langsung dalam hampir semua kasus konflik
agama salama
ini. Saidi dkk (2001; 1 - 20) yang
secara khusus menyoroti kebijakan keagamaan, Orde Baru melihat bahwa
intervensi pemerintah yang berlebihan terhadap kehidupan keagamaan mengimplikasikan banyak hal, dua di antaranya adalah, pertama,
kekecewaan, ketidakpuasan, dan kemarahan sebagian kaum beragama yang dalam konteks Islam kemudian
melahirkan gerakan-gerakan radikal-fundamental-ekstrim yang di masa Orde Baru ditunjukkan oleh
kasus-kasus Tanjungpriuk,
Lampung, dan sebangsanya. Kedua, ketidak-percayaan sebagian kaum muslim terhadap sistem
kenegaraan yang dianggap tidak dapat memberikan kesejahteraan dan keadilan yang merata
sehingga mendorong mereka untuk mengidealisasi (mengilusi) Islam sebagai sesuatu yang kaffah
dan alternatif bagi penataan kehidupan kenegaraan maupun
kemasyarakatan di masa depan. Idealisasi Islam kaffah itu lalu menumbuhsuburkan
puritanisasi dan ortodoksi yang bagi sebagaian kaum muslim lain cenderung berlebihan dan
mengancam kehidupan
plural dan multicultural.
Persoalan yang kita hadapi
adalah mempertanyakan dimana peran atau posisi agama dalam kehidupan yang penuh
konflik ini? Apakah agama dapat berperan sebagai alat atau media yang kuat
dalam resolusi konflik atau bahkan agama menjadi bagian dari konflik yang
terjadi dan tidak habis-habisnya, atau agama justru menimbulkan pemicu
terjadinya konflik?
B. Agama Sebagai Media untuk Resolusi Konflik: Sebuah Analisis
Di tengah maraknya aksi
kekerasan antarumat beragama, antar kaum mayoritas-minoritas, posisi agama
patut kembali dipertanyakan. Apakah agama masih bisa menjadi sumber perdamaian
atau justru agama telah menjadi alat politisasi yang mematikan di negeri ini.
Sejak lama, isu agama sebagai sumber konflik telah menjadi salah satu
perdebatan panjang di kalangan akademisi dalam bidang kajian agama. Agama
bahkan seringkali dituduh sebagai salah satu faktor pemicu timbulnya konflik.
Tidak mengherankan jika kemudian ada yang meminta agar agama diletakkan di
ruang private.[2]
Namun, pandangan-pandangan yang dianggap masih dalam perdebatan itu turut
memicu reaksi dari berbagai kalangan.
Tindakan-tindakan anarkis berbau agama
seperti yang terjadi dalam insiden Cikeusik dan Temanggung juga membuat
banyak orang kembali bertanya apakah agama itu baik atau jahat.[3]
Charles Kimball (2002) dalam bukunya When Religion Becomes Evil menegaskan
bahwa jawaban atas pertanyaan itu bisa TIDAK tetapi bisa juga YA. Kimball menegaskan
dengan logika sederhana bahwa “guns don’t kill people; people kill
people” bahwa bukan senjata yang membunuh manusia, tetapi manusialah
yang memegang dan menarik pelatuk senjata itu.[4]
Dari sini kita bisa melihat bahwa
budaya radikalisme dan benih-benih kekerasan menjadi salah satu pemicu
terpuruknya citra agama di negeri ini. Juga, lemahnya perangkat hukum yang
mengatur hubungan antar agama serta perlindungan negara terhadap kaum minoritas
atas mayoritas turut mengaburkan upaya-upaya damai yang diusung oleh agama.
Sudah seharusnya agama diposisikan sebagai pemicu lahirnya perdamaian bukan
sebaliknya.
Umat muslim di Indonesia adalah masyarakat terbesar
yang mendiami bangsa ini. Masyarakat muslim yang sedang berada di tengah-tengah
kemajemukan, dituntut untuk bisa hidup berdampingan dan harmonis dengan suluruh
elemen bangsa. Untuk menghambat laju konflik yang berdimensi agama itu,
tampaknya, kita memang harus merumuskan kembali cara pandang dan pemahaman
terhadap agama kita sendiri dan agama orang lain, termasuk merumuskan cara kita
mesti hidup dengan kelompok-kelompok lain (others).
Hidup saling menghargai dan toleransi pada semua elemen masyarakat juga
akan meredam konflik yang tidak bisa kita hindari. Bagaimanapun seluruh agama
mempunyai ajaran yang sama yaitu mengajak semua umat manusia untuk hidup damai
dan kebaikan antar sesama. Peran agama sebagai perekat heterogenitas dan pereda
konflik seharusnya bisa diterapkan di masyarakat.[5]
Samuel P. Huntington mengatakan bahwa perbedaan tidak mesti konflik, dan
konflik tidak mesti berarti kekerasan. Ada beberapa cara untuk mengakhiri
kekerasan seperti, keluarga sebagai basis pembinaan masyarakat harus bisa
berperan secara optimal dan peran tempat-tempat peribadatan dan kitab-kitab
suci harus dimaksimalkan sebagai laboratorium bagi pengembangan
kegiatan-kegiatan keagamaan serta pendalaman dan pemahaman ajaran agama islam
agar pendidikan moral dan kehidupan sosial dengan konteks mengenai agama islam
dapat dipahami dan jangan sampai ada kesenjangan antara ajaran agama dengan
pemahaman dan pengamalannya.
Upaya pemberdayaan lembaga sosial keagamaan dan lembaga pendidikan agama
dan keagamaan harus dilakukan dengan cara memediasi agar interaksi sosial
dikalangan kelompok masyarakat beragama tetap terjaga dengan baik.[6]
Memantapkan kerukunan umat beragama juga harus dilakukan dengan berbagai
pertemuan, dialog, dan kerjasama antar pemuka
agama sebagai langkah antisipasi dini dan upaya pencegahan munculnya potensi
konflik. Selain itu, telah pula dikembangkan pendidikan multikultural guna
memberi wawasan pluralisme sosial dan penghargaan pada keberagaman.
C. Analisi Swot
Analisis SWOT adalah analisis kondisi internal maupun eksternal suatu
organisasi yang selanjutnya akan
digunakan sebagai dasar untuk merancang strategi dan program kerja. Di dalam paper ini akan mencoba untuk membahas peran agama dalam resolusi konflik yang mempunyai
potensi yang strategis, tetapi bagaimana
mencari kemungkinan-kemungkinan peran yang bisa disumbangkan agama dalam
menghadapi konflik dan bagaimana cara strategi mengurai konflik. Untuk
merumuskan analisis peran agama
dalan resolusi konflik tersebut digunakan teknik analisis SWOT (Strength, Weakness, Opportunity and Threat) dengan sudut pandang peran agama dalam
resolusi konflik.
a. Analisis
Internal
a. 1. Kekuatan
a.
.1.1. Agama Sebagai ajaran Perdamaian
Agama dan kekerasan tertentu merupakan dua hal yang paradok. Semua agama
tentu mengajarkan kepada umatnya tentang kerukunan, kedamaian, keadilan,
toleransi dalam keberagaman, saling menghormati dan menghargai sesama. Ajaran
agama memberikan arah untuk mewujudkan pribadi yang paripurna (insan kamil),
berpikir/prasangka yang positif. Agama dan akal sehat akan menghindari sejauh
mungkin konflik dan perpecahan dalam umat terlebih disertai dengan kekerasan.
b.
1.2. Sikap agama terhadap pluralitas sangat terbuka.
Agama yang mengakui adanya pluralitas dalam berbagai aspek, bahkan
memberi sikap etis yang tegas. Dalam Al-Qur’an mengatakan secara explisit bahwa
manusia diciptakan berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar mereka saling
mengenal dan menghargai. Selain itu perbedaan warna kulit dan bangsa harus
diterima sebagai kenyataan yang positif, yang merupakan salah satu tanda-tanda
kekuasaan Allah.
c.
1.3. Sikap Toleransi dalam Agama
Dalam sejarah dakwah nabi pernah dicontohkan dengan jelas ketika
berhadapan dengan kelompok lain di Madinah. Agama kristen misanya, terdapat
kecenderungan pemikiran yang sama dalam menghadapi persoalan pluralisme.
Dilihat dari perspektif teologi agama-agama terhadap pengakuan yang terhadap
pluralisme sehingga terdapat titik singgung yang dipertemukan.[7]
b. 2. Kelemahan
a.
2.1. Doktrin Eksklusif agama
Eksklusif agama adalah ajaran-ajaran yang mengajarkan keistimewaan,
keunggulan dan semangat domonasi satu agama atas agama lain. Adapun pengaruh
semangat eksklusifitas dalam agama dapat di petakan dalam dua kemungkinan yang
berbeda yaitu semangat eksklusifitas ajaran agama sebagai bentuk kekerasan dan
objek kekerasan agama.
b.
2. 2. Doktrin Misi Keagamaan
Menurut Mex Muller, perkembangan agama dapat diidentifikasi menurut
karakter perkembangannya. Kelompok pertama adalah agama siar[8]
dan kelompok kedua adalah agama non siar.[9]
c.
2. 3. Kurangnya Pemahaman Tentang Teks Suci Keagamaan
Jika teks suci suatu agama atau tradisi menunjuk
sekelompok orang sebagai sesuatu yang unik secara ilahi "dipilih"
"terpilih" atau unik maka semakin besar peluang teks tadi digunakan
oleh kelompok "pilihan" tersebut untuk membenarkan diskriminasi
terhadap "yang lain," sehingga semakin besar pula kemungkinan agama
tadi menyebabkan perang atau konflik dengan kekerasan.
d.
2. 4. Tidak Adanya Pemahaman Agama Sejak Dini
Tidak adanya Pemahaman keagamaan sejak dini pada anak-anak dapat
berdampak pada pemahaman keagamaan pada diri anak pribadi. Pemahaman agama yang
dianutnya adalah pemahaman yang paling benar dan menganggap agama lain tidak
benar.
b. Analisis
Eksternal
a.
1. Peluang
a.1.1. sikap checks and balances agama
Jika sebuah agama agak terpusat dengan checks and
balances pada otoritas, maka kecil kemungkinan sumber daya agama dijadikan
alat untuk mencari kekuasaan-kelompok atau individu-individu dan agenda
radikal, sehingga kecil kemungkinan agama tersebut menyebabkan konflik.
b.
1. 2. Agama Menjadi Sumber dalam Mencari Solusi
Inilah yang harus kita hargai bersama dan aplikasikannya dilapangan,
tidak mencari sesuatu yang berbeda tetapi justru mencari sesuatu yang sama.[10]
Setiap ajaran agama tidak ada yang mengajarkan pengikutnya untuk berbuat yang
tidak baik.
c.
1. 3. Peningkatan Dialog Antar Umat Beragama
Proses penyadaran lewat peningkatan dialog antar umat beragama serta pendekatan
penegakan hukum dan adanya Tri Kerukunan Kehidupan Umat Beragama ini menjadi
suatu piranti yang dapat mendukung
terwujudnya kerukunan diantara umat beragama di Indonesia ini, sehingga agama
dapat kita perankan sebagai sumber motivasi, sumber aspirasi, sumber inspirasi
dan bahkan sumber nilai untuk meningkatkan dan membangun masyarakat Indonesia
baru.
b. 2. Tantangan
a. 2. 1. Pluralisme Agama
Salah satu hal yang mewarnai dunia dewasa ini adalah
pluralisme keagamaan, demikian ungkap Coward11
Pluralisme merupakan sebuah fenomena yang tidak mungkin dihindari. Manusia
hidup dalam pluralisme dan merupakan bagian dari pluralisme itu sendiri, baik
secara pasif maupun aktif, tak terkecuali dalam hal keagamaan.
Pluralisme keagamaan merupakan tantangan khusus yang
dihadapi agama-agama dunia dewasa ini. Dan seperti pengamatan Coward12, setiap agama muncul dalam lingkungan
yang plural ditinjau dari sudut agama dan membentuk dirinya sebagai tanggapan
terhadap pluralisme tersebut. Jika tidak dipahami secara benar dan arif oleh
pemeluk agama, pluralisme agama akan menimbulkan dampak, tidak hanya berupa
konflik antar umat beragama, tetapi juga konflik sosial dan disintegrasi
bangsa.
b.
2. 2. Keberagaman Simbolik
Dalam konteks inilah, tantangan kehidupan beragama
kita sebenarnya lebih disebabkan model keberagamaan umat yang diekspresikan
secara simbolik. Keberagamaan simbolik ditandai sikap dan praktik beragama yang
bertolak pada simbol atau identitas, bukan disemangati nilai-nilai substansial
ajaran agama.13
Adanya sikap keberagamaan simbolik itulah yang melahirkan
agama secara empirik tidak mampu menjawab problem kemanusiaan, dan banyak
melahirkan konflik atas nama agama.
Syariat Islam di daerah-daerah itu masih berkisar pada
fenomena simbolik, dimaknai dengan kawasan wajib tutup aurat, penggantian nama
jalan, toko, dan bus dengan huruf Arab atau nama Islam.14 Nuansa simbolik tampak dari ajaran agama yang sebenarnya
menawarkan ajaran yang lebih progresif ketimbang ajaran simbolik.
c.
2.
3. Radikalisme Agama Yang
Terus
Mengancam
Eksistensi
Perdamaian
Universal.
Peristiwa
di beberapa daerah seperti Poso dan Maluku menunjukan betapa kehidupan beragama
kita justru mempercubur konflik, perang antaragama dianggap perang suci (holy
war), akan mendapat pahala di surga.
Dalam konteks inilah, fanatisme berlebihan atas agama yang
dipancarkan akan mengakibatkan
radikalisasi jika tidak diminimalisasi oleh sikap-sikap toleran atas perbedaan,
akomodatif terhadap perubahan dan menerima kenyataan (realitas) sosial. Dengan
demikian, agama memiliki dua sisi paradoksal: berfungsi sebagai kenyamanan
spiritual untuk kedamaian, sekaligus menjadi media subur untuk menciptakan
peperangan.
d. 2. 4. Terorisme Yang Menebarkan Ketakutan.
Kini, terorisme sering dilekatkan pada pemahaman agama yang
fanatik, militan, dan radikal. Peristiwa Bali mestinya bisa menjadi pelajaran
bagi umat Islam untuk tidak mempromosikan pemahaman agama yang fanatik,
militan, dan radikal, tetapi mempromosikan pemahaman agama yang moderat.
Tudingan Islam Indonesia terkait terorisme harus dibarengi
realitas obyektif masyarakat Muslim yang menolak aneka kekerasan, bukan malah
"bangga" dengan aksi kekerasan yang selama ini terjadi di Tanah Air,
yang diyakini sebagai reaksi atas ketidakadilan AS yang selalu meminggirkan umat
Islam. Umat Islam mestinya melakukan kampanye antiterorisme karena menggunakan
agama untuk kekerasan adalah penyimpangan atas agama yang mengajarkan
perdamaian.
D. Kesimpulan
Setiap
agama mengajarkan perdamaian,
kebersamaan sekaligus menebar misi kemaslahatan bagi lingkungan di sekitarnya.
Namun dalam tatanan sosiologis, wajah agama tidak seideal seperti yang
diharapkan dalam kerangka normatif tersebut. Kerap kali raut wajah agama tampak
bopeng, tercoreng dan ternoda dalam kecamuk konflik sosial, budaya, dan apalagi
agama dibawa-bawa dalam politik.
Demikian
itu sebenarnya bukan
kesalahan ajaran agama itu sendiri, namun lebih diakibatkan human error, yakni sikap sebagian para pemeluknya yang
kadang kala menafsirkan ajaran agama yang seranpangan. Bisa juga kepentingan
sebagian umat beragama yang terlalu berlebihan sehingga mengalahkan kepentingan
agama.
Jika
realitas menyatakan demikian maka human
error lebih dominan, maka merajut
kehidupan harmoni yang terkoyak akibat konflik sosial agama di negeri ini,
mungkin sama rumitnya dengan mengurai benang kusut. Butuh kejelian untuk
menelusuri akar permasalahan konflik yang terjadi di sejumlah daerah.
Dengan demikian maka pemahaman ajaran agama
akan mengarah kepada pembentukan karakter terbuka, dan agama bisa difungsikan
menjadi instrumen untuk berkomunikasi sosial dengan kelompok lain, sehingga
bisa dihindarkan munculnya konflik yang membawa agama.
E. Daftar Pustaka
Abdullah,
Amin dkk, Antologi Isu-Isu Global dalam
Kajian Agama dan Filsafat, Yogyakarta, Program Pascasarjana UIN Sunan
Kalijaga, 2010.
Coward, Pluralisme dan Tantangan Agama-agama, Yogyakarta: Kanisius: 1989.
Daulay, M. Zainuddin, Mereduksi
Eskalasi Konflik Antarumat Beragama di Indonesia, Jakarta, Badan Litbang
Agama dan Diklat Keagamaan, 2001.
Depertemen
Agama RI, Konfik Etno Religius Indonesia
Kontemporer, Jakarta, Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan Puslitbang
Kehidupan Beragama Bagian Proyek Peningkatan Pengkajian Kerukunan Hidup Umat
Beragama, 2003.
Hamim, Thoha
dkk, Resolusi Konflik Islam Indonesia,
Yogyakarta, PT. LkiS, 2007.
Musahadi
dkk, Mediasi dan Resolusi Konflik di
Indonesia; dari konflik agama hingga mediasi peradilan, Semarang, WMC IAIN
Walisongo, 2007.
Website
www.scribd.com/doc/76190116/Agama-Dan-Konflik ...
(29/02/2012)
www.kompas.com/kompas-cetak/02/12/13/opini/42187.htm (29/02/2012)
www.blogdetik.com/2011/02/.../islam-sebuah-resolusi-konflik... (01/03/2012)
[1]
Prof. Amin Abdullah, Peran Pemimpin Politik dan Agama dalam
Mengurai dan Resolusi Konflik dan Kekerasan dalam buku, Antologi
Isu-isu Global dalam Kajian dan Filsafat, Yogyakarta, Program Pascasarjana
UIN Sunan Kalijaga, 2010. Hlm 1.
[2]
Agama disembunyikan dari ruang publik agar terhindar dari politisasi agama, Orang-orang yang cenderung menyalahkan
agama didebat untuk memberikan pemahaman lebih spesifik tentang arti agama di
ruang private dan agama di ruang publik, karena penjelasan
tentang itu akan memperjelas dimana seharusnya agama diposisikan.
[3]Ada prasangka masyarakat
tentang agama bahwa agama yang membawa perdamaian, kenyamanan sekarang sudah
tidak lagi di agung-agung oleh masyarakat, bahkan agama dianggap sebagai
pembawa konflik, sehingga ada pertanyaan apakan agama itu baik atau jahat.
[4] Di sini Kimbal ingin menunjukan bahwa agama pada dasarnya baik dan tidak
bisa dipersalahkan. Jika kemudian terjadi clash antar agama,
menguatnya prasangka negatif antar kelompok, hingga munculnya tindak kekerasan
akibat relasi yang buruk pertama-tama dan terutama adalah persoalan para
penganut agama-agama, dan lebih khusus bagi, persoalan para ‘pemegang’ atau
‘pengendali’ agama-agama, yaitu para pemimpin agama-agama. Tidak bisa
dipungkiri bahwa di tangan para pemimpin agama, sebuah agama bisa menjadi oase
iman yang menyejukan. Namun, di sisi lain agama juga berpotensi menjadi sarana
pembibitan kekerasan dan radikalisme, menjadi sumber malapetaka bagi siapa
saja. Di situlah kemudian citra agama menjadi buruk.
[6]
Peran sosial-kemasyarakatan lembaga-lembaga tersebut cukup efektif, terutama
dalam konteks membangun relasi yang harmonis antarkelompok masyarakat, Karena
ada pada sebagian kelompok masyarakat dijumpai pola kehidupan beragama yang
eksklusif, sehingga berpotensi mengganggu hubungan sosial baik intern umat
beragama maupun antarumat beragama.
[8]Agama siar memberikan
kewajiban pemeluk agamanya untuk menyampaikan ajaran agama mereka.
[9]Agama non siar tidak
mewajibkan pemeluknya untuk menyebarkan agama kepada pihak lain.
[10]Ini dapat dicontohkan
pada seseorang agamawan yang meyakini ajaran agamanya dan kemudian
diimplikasikannya dalam hidup dan kehidupan sehari-hari.
12Ibid, 167.
13Ada beberapa fenomena yang dapat dilihat sebagai bentuk
kehidupan beragama simbolik yang terjadi di Tanah Air. Pertama, semarak
tuntutan pemberlakuan syariat Islam, yang sudah merambah ke daerah-daerah,
sejak ditolak di parlemen melalui proses amandemen Undang-Undang Dasar 1945.
Dimulai dari Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) yang memberlakukan syariat
Islam 1 Muharram 1423 H (15 Maret 2002), lalu ke Cianjur dan Tasikmalaya.
Bahkan, belum lama ini Pamekasan mulai mengkaji aspek pemberlakuan syariat
Islam melalui peraturan daerah.
14Ini dapat kita lihat di Provinsi NAD, dan berbusana Islam di kantor-kantor
pemerintah seperti di Tasikmalaya, Cianjur, dan Pamekasan.