Kamis, 15 Maret 2012


The Possibility Of Using Religion Or Media
For Complict Resolusion
A. Pendahuluan
Keberadaan negara bangsa (nation state) merupakan kesepakatan final dari para founding father, sebagai bentuk pengakuan terhadap pluralitas yang menjadi pilar tegaknya negara Indonesia. Dalam sejarah bangsa kita, kemajemukan telah melahirkan perpaduan yang sangat indah dalam berbagai bentuk mozaik budaya. Berbagai suku, agama, adat istiadat dan budaya dapat hidup berdampingan dan memiliki ruang negosiasi yang sangat tinggi dalam kehidupan sehari-hari. Namun keragaman yang terajut indah itu kini terkoyak dan tercabik-cabik oleh sikap eksklusif yang tumbuh dari akar primordialisme seperti kesukuan, agama dan golongan.
 Dalam sejarah kehidupan umat manusia, hampir-hampir tidak pernah melewati era tanpa konflik. Kapan dan dimana pun umat manusia tidak pernah terbebas dari konflik, pertengkaran, dan perselisihan. Konflik bisa saja terjadi pada diri pribadi, keluarga, organisasi,  maupun lembaga. Belum lagi konflik antar etnis, antar ras, suku, agama, dan juga negara. Bahkan ilrnu pengetahuan dalam proses mencapai kemajuannya pun selalu mengalami konflik atau krisis. Kalau kita lihat yang menjadi permasahan sehingga terjadi konflik adalah perbedaan. Perbedaan ras, etnis, kulit, kelas, ekonomi, bahasa, budaya, agama, pengetahuan, tingkat penguasaan iptek, gender dan umur merupakan wilayah yang sangat subur sebagai cikal bakal dan sekaligus sebagai tempat subur untuk benih-benih konflik.[1]
Perbedaan itu sendiri ada secara alami karena terbentuk oleh keyakinan, belief, pandangan hidup atau wolrd view. Keyakinan atau belief, lebih-lebih yang dogmatis-ideologis, dibentuk oleh kepentingan­-kepentingan untuk mempertahankan diri atau kelompok (Survival far the fittest). Dengan begitu konflik adalah bagian tak terpisahkan dari kehidupan sosial.
Beberapa hasil penelitian mengenai konflik agama baik di masa Orde Baru maupun di masa reformasi menunjukkan betapa penting peran pemerintah baik langsung maupun tidak langsung dalam hampir semua kasus konflik agama salama ini. Saidi dkk (2001; 1 - 20) yang secara khusus menyoroti kebijakan keagamaan, Orde Baru melihat bahwa intervensi pemerintah yang berlebihan terhadap kehidupan keagamaan mengimplikasikan banyak hal, dua di antaranya adalah, pertama, kekecewaan, ketidakpuasan, dan kemarahan sebagian kaum beragama yang dalam konteks Islam kemudian melahirkan gerakan-gerakan radikal-fundamental-ekstrim yang di masa Orde Baru ditunjukkan oleh kasus-kasus Tanjungpriuk, Lampung, dan sebangsanya. Kedua, ketidak-percayaan sebagian kaum muslim terhadap sistem kenegaraan yang dianggap tidak dapat memberikan kesejahteraan dan keadilan yang merata sehingga mendorong mereka untuk mengidealisasi (mengilusi) Islam sebagai sesuatu yang kaffah dan alternatif bagi penataan kehidupan kenegaraan maupun kemasyarakatan di masa depan. Idealisasi Islam kaffah itu lalu menumbuhsuburkan puritanisasi dan ortodoksi yang bagi sebagaian kaum muslim lain cenderung berlebihan dan mengancam kehidupan plural dan multicultural.
Persoalan yang kita hadapi adalah mempertanyakan dimana peran atau posisi agama dalam kehidupan yang penuh konflik ini? Apakah agama dapat berperan sebagai alat atau media yang kuat dalam resolusi konflik atau bahkan agama menjadi bagian dari konflik yang terjadi dan tidak habis-habisnya, atau agama justru menimbulkan pemicu terjadinya konflik?



B. Agama Sebagai Media untuk Resolusi Konflik: Sebuah Analisis
Di tengah maraknya aksi kekerasan antarumat beragama, antar kaum mayoritas-minoritas, posisi agama patut kembali dipertanyakan. Apakah agama masih bisa menjadi sumber perdamaian atau justru agama telah menjadi alat politisasi yang mematikan di negeri ini. Sejak lama, isu agama sebagai sumber konflik telah menjadi salah satu perdebatan panjang di kalangan akademisi dalam bidang kajian agama. Agama bahkan seringkali dituduh sebagai salah satu faktor pemicu timbulnya konflik. Tidak mengherankan jika kemudian ada yang meminta agar agama diletakkan di ruang private.[2] Namun, pandangan-pandangan yang dianggap masih dalam perdebatan itu turut memicu reaksi dari berbagai kalangan.
Tindakan-tindakan anarkis berbau agama seperti yang terjadi dalam insiden Cikeusik dan Temanggung juga membuat banyak orang kembali bertanya apakah agama itu baik atau jahat.[3] Charles Kimball (2002) dalam bukunya When Religion Becomes Evil menegaskan bahwa jawaban atas pertanyaan itu bisa TIDAK tetapi bisa juga YA. Kimball menegaskan dengan logika sederhana bahwa “guns don’t kill people; people kill people”  bahwa bukan senjata yang membunuh manusia, tetapi manusialah yang memegang dan menarik pelatuk senjata itu.[4]
Dari sini kita bisa melihat bahwa budaya radikalisme dan benih-benih kekerasan menjadi salah satu pemicu terpuruknya citra agama di negeri ini. Juga, lemahnya perangkat hukum yang mengatur hubungan antar agama serta perlindungan negara terhadap kaum minoritas atas mayoritas turut mengaburkan upaya-upaya damai yang diusung oleh agama. Sudah seharusnya agama diposisikan sebagai pemicu lahirnya perdamaian bukan sebaliknya.
Umat muslim di Indonesia adalah masyarakat terbesar yang mendiami bangsa ini. Masyarakat muslim yang sedang berada di tengah-tengah kemajemukan, dituntut untuk bisa hidup berdampingan dan harmonis dengan suluruh elemen bangsa. Untuk menghambat laju konflik yang berdimensi agama itu, tampaknya, kita memang harus merumuskan kembali cara pandang dan pemahaman terhadap agama kita sendiri dan agama orang lain, termasuk merumuskan cara kita mesti hidup dengan kelompok-kelompok lain (others).
Hidup saling menghargai dan toleransi pada semua elemen masyarakat juga akan meredam konflik yang tidak bisa kita hindari. Bagaimanapun seluruh agama mempunyai ajaran yang sama yaitu mengajak semua umat manusia untuk hidup damai dan kebaikan antar sesama. Peran agama sebagai perekat heterogenitas dan pereda konflik seharusnya bisa diterapkan di masyarakat.[5]
Samuel P. Huntington mengatakan bahwa perbedaan tidak mesti konflik, dan konflik tidak mesti berarti kekerasan. Ada beberapa cara untuk mengakhiri kekerasan seperti, keluarga sebagai basis pembinaan masyarakat harus bisa berperan secara optimal dan peran tempat-tempat peribadatan dan kitab-kitab suci harus dimaksimalkan sebagai laboratorium bagi pengembangan kegiatan-kegiatan keagamaan serta pendalaman dan pemahaman ajaran agama islam agar pendidikan moral dan kehidupan sosial dengan konteks mengenai agama islam dapat dipahami dan jangan sampai ada kesenjangan antara ajaran agama dengan pemahaman dan pengamalannya.
Upaya pemberdayaan lembaga sosial keagamaan dan lembaga pendidikan agama dan keagamaan harus dilakukan dengan cara memediasi agar interaksi sosial dikalangan kelompok masyarakat beragama tetap terjaga dengan baik.[6] Memantapkan kerukunan umat beragama juga harus dilakukan dengan berbagai pertemuan, dialog, dan kerjasama antar pemuka agama sebagai langkah antisipasi dini dan upaya pencegahan munculnya potensi konflik. Selain itu, telah pula dikembangkan pendidikan multikultural guna memberi wawasan pluralisme sosial dan penghargaan pada keberagaman.

C. Analisi Swot
Analisis SWOT adalah analisis kondisi internal maupun eksternal suatu organisasi yang selanjutnya akan digunakan sebagai dasar untuk merancang strategi dan program kerja. Di dalam paper ini akan mencoba untuk membahas peran agama dalam resolusi konflik yang mempunyai potensi yang strategis, tetapi bagaimana mencari kemungkinan-kemungkinan peran yang bisa disumbangkan agama dalam menghadapi konflik dan bagaimana cara strategi mengurai konflik. Untuk merumuskan analisis peran agama dalan resolusi konflik tersebut digunakan teknik analisis SWOT (Strength, Weakness, Opportunity and Threat) dengan sudut pandang peran agama dalam resolusi konflik.

a.    Analisis Internal
a.      1. Kekuatan  
a.      .1.1. Agama Sebagai ajaran Perdamaian
Agama dan kekerasan tertentu merupakan dua hal yang paradok. Semua agama tentu mengajarkan kepada umatnya tentang kerukunan, kedamaian, keadilan, toleransi dalam keberagaman, saling menghormati dan menghargai sesama. Ajaran agama memberikan arah untuk mewujudkan pribadi yang paripurna (insan kamil), berpikir/prasangka yang positif. Agama dan akal sehat akan menghindari sejauh mungkin konflik dan perpecahan dalam umat terlebih disertai dengan kekerasan.
b.      1.2. Sikap agama terhadap pluralitas sangat terbuka.
Agama yang mengakui adanya pluralitas dalam berbagai aspek, bahkan memberi sikap etis yang tegas. Dalam Al-Qur’an mengatakan secara explisit bahwa manusia diciptakan berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar mereka saling mengenal dan menghargai. Selain itu perbedaan warna kulit dan bangsa harus diterima sebagai kenyataan yang positif, yang merupakan salah satu tanda-tanda kekuasaan Allah.
c.       1.3. Sikap Toleransi dalam Agama
Dalam sejarah dakwah nabi pernah dicontohkan dengan jelas ketika berhadapan dengan kelompok lain di Madinah. Agama kristen misanya, terdapat kecenderungan pemikiran yang sama dalam menghadapi persoalan pluralisme. Dilihat dari perspektif teologi agama-agama terhadap pengakuan yang terhadap pluralisme sehingga terdapat titik singgung yang dipertemukan.[7]

b.      2. Kelemahan
a.      2.1. Doktrin Eksklusif agama
Eksklusif agama adalah ajaran-ajaran yang mengajarkan keistimewaan, keunggulan dan semangat domonasi satu agama atas agama lain. Adapun pengaruh semangat eksklusifitas dalam agama dapat di petakan dalam dua kemungkinan yang berbeda yaitu semangat eksklusifitas ajaran agama sebagai bentuk kekerasan dan objek kekerasan agama.
b.      2. 2. Doktrin Misi Keagamaan
Menurut Mex Muller, perkembangan agama dapat diidentifikasi menurut karakter perkembangannya. Kelompok pertama adalah agama siar[8] dan kelompok kedua adalah agama non siar.[9]
c.       2. 3. Kurangnya Pemahaman Tentang Teks Suci Keagamaan
Jika teks suci suatu agama atau tradisi menunjuk sekelompok orang sebagai sesuatu yang unik secara ilahi "dipilih" "terpilih" atau unik maka semakin besar peluang teks tadi digunakan oleh kelompok "pilihan" tersebut untuk membenarkan diskriminasi terhadap "yang lain," sehingga semakin besar pula kemungkinan agama tadi menyebabkan perang atau konflik dengan kekerasan.
d.      2. 4. Tidak Adanya Pemahaman Agama Sejak Dini
Tidak adanya Pemahaman keagamaan sejak dini pada anak-anak dapat berdampak pada pemahaman keagamaan pada diri anak pribadi. Pemahaman agama yang dianutnya adalah pemahaman yang paling benar dan menganggap agama lain tidak benar.

b.   Analisis Eksternal
a.   1. Peluang
a.1.1. sikap checks and balances agama
Jika sebuah agama agak terpusat dengan checks and balances pada otoritas, maka kecil kemungkinan sumber daya agama dijadikan alat untuk mencari kekuasaan-kelompok atau individu-individu dan agenda radikal, sehingga kecil kemungkinan agama tersebut menyebabkan konflik.
b.    1. 2. Agama Menjadi Sumber dalam Mencari Solusi
Inilah yang harus kita hargai bersama dan aplikasikannya dilapangan, tidak mencari sesuatu yang berbeda tetapi justru mencari sesuatu yang sama.[10] Setiap ajaran agama tidak ada yang mengajarkan pengikutnya untuk berbuat yang tidak baik.
c.     1. 3. Peningkatan Dialog Antar Umat Beragama
Proses penyadaran lewat peningkatan dialog antar umat beragama serta pendekatan penegakan hukum dan adanya Tri Kerukunan Kehidupan Umat Beragama ini menjadi suatu piranti yang dapat mendukung terwujudnya kerukunan diantara umat beragama di Indonesia ini, sehingga agama dapat kita perankan sebagai sumber motivasi, sumber aspirasi, sumber inspirasi dan bahkan sumber nilai untuk meningkatkan dan membangun masyarakat Indonesia baru.

b. 2.  Tantangan

a.      2. 1. Pluralisme Agama
Salah satu hal yang mewarnai dunia dewasa ini adalah pluralisme keagamaan, demikian ungkap Coward11 Pluralisme merupakan sebuah fenomena yang tidak mungkin dihindari. Manusia hidup dalam pluralisme dan merupakan bagian dari pluralisme itu sendiri, baik secara pasif maupun aktif, tak terkecuali dalam hal keagamaan.
Pluralisme keagamaan merupakan tantangan khusus yang dihadapi agama-agama dunia dewasa ini. Dan seperti pengamatan Coward12, setiap agama muncul dalam lingkungan yang plural ditinjau dari sudut agama dan membentuk dirinya sebagai tanggapan terhadap pluralisme tersebut. Jika tidak dipahami secara benar dan arif oleh pemeluk agama, pluralisme agama akan menimbulkan dampak, tidak hanya berupa konflik antar umat beragama, tetapi juga konflik sosial dan disintegrasi bangsa.

b.      2. 2. Keberagaman Simbolik
Dalam konteks inilah, tantangan kehidupan beragama kita sebenarnya lebih disebabkan model keberagamaan umat yang diekspresikan secara simbolik. Keberagamaan simbolik ditandai sikap dan praktik beragama yang bertolak pada simbol atau identitas, bukan disemangati nilai-nilai substansial ajaran agama.13
Adanya sikap keberagamaan simbolik itulah yang melahirkan agama secara empirik tidak mampu menjawab problem kemanusiaan, dan banyak melahirkan konflik atas nama agama.
Syariat Islam di daerah-daerah itu masih berkisar pada fenomena simbolik, dimaknai dengan kawasan wajib tutup aurat, penggantian nama jalan, toko, dan bus dengan huruf Arab atau nama Islam.14 Nuansa simbolik tampak dari ajaran agama yang sebenarnya menawarkan ajaran yang lebih progresif ketimbang ajaran simbolik.

c.          2. 3. Radikalisme Agama Yang Terus Mengancam Eksistensi Perdamaian Universal.
Peristiwa di beberapa daerah seperti Poso dan Maluku menunjukan betapa kehidupan beragama kita justru mempercubur konflik, perang antaragama dianggap perang suci (holy war), akan mendapat pahala di surga.
Dalam konteks inilah, fanatisme berlebihan atas agama yang dipancarkan  akan mengakibatkan radikalisasi jika tidak diminimalisasi oleh sikap-sikap toleran atas perbedaan, akomodatif terhadap perubahan dan menerima kenyataan (realitas) sosial. Dengan demikian, agama memiliki dua sisi paradoksal: berfungsi sebagai kenyamanan spiritual untuk kedamaian, sekaligus menjadi media subur untuk menciptakan peperangan.

d.      2. 4. Terorisme Yang Menebarkan Ketakutan.

Kini, terorisme sering dilekatkan pada pemahaman agama yang fanatik, militan, dan radikal. Peristiwa Bali mestinya bisa menjadi pelajaran bagi umat Islam untuk tidak mempromosikan pemahaman agama yang fanatik, militan, dan radikal, tetapi mempromosikan pemahaman agama yang moderat.
Tudingan Islam Indonesia terkait terorisme harus dibarengi realitas obyektif masyarakat Muslim yang menolak aneka kekerasan, bukan malah "bangga" dengan aksi kekerasan yang selama ini terjadi di Tanah Air, yang diyakini sebagai reaksi atas ketidakadilan AS yang selalu meminggirkan umat Islam. Umat Islam mestinya melakukan kampanye antiterorisme karena menggunakan agama untuk kekerasan adalah penyimpangan atas agama yang mengajarkan perdamaian.


D. Kesimpulan

Setiap agama mengajarkan perdamaian, kebersamaan sekaligus menebar misi kemaslahatan bagi lingkungan di sekitarnya. Namun dalam tatanan sosiologis, wajah agama tidak seideal seperti yang diharapkan dalam kerangka normatif tersebut. Kerap kali raut wajah agama tampak bopeng, tercoreng dan ternoda dalam kecamuk konflik sosial, budaya, dan apalagi agama dibawa-bawa dalam politik.
Demikian itu sebenarnya bukan kesalahan ajaran agama itu sendiri, namun lebih diakibatkan human error,  yakni sikap sebagian para pemeluknya yang kadang kala menafsirkan ajaran agama yang seranpangan. Bisa juga kepentingan sebagian umat beragama yang terlalu berlebihan sehingga mengalahkan kepentingan agama.
Jika realitas menyatakan demikian maka human error  lebih dominan, maka merajut kehidupan harmoni yang terkoyak akibat konflik sosial agama di negeri ini, mungkin sama rumitnya dengan mengurai benang kusut. Butuh kejelian untuk menelusuri akar permasalahan konflik yang terjadi di sejumlah daerah.
     Dengan demikian maka pemahaman ajaran agama akan mengarah kepada pembentukan karakter terbuka, dan agama bisa difungsikan menjadi instrumen untuk berkomunikasi sosial dengan kelompok lain, sehingga bisa dihindarkan munculnya konflik yang membawa agama.



E. Daftar Pustaka

Abdullah, Amin dkk, Antologi Isu-Isu Global dalam Kajian Agama dan Filsafat, Yogyakarta, Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, 2010.

Coward, Pluralisme dan Tantangan Agama-agama, Yogyakarta: Kanisius: 1989.

Daulay, M. Zainuddin, Mereduksi Eskalasi Konflik Antarumat Beragama di Indonesia, Jakarta, Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan, 2001.

Depertemen Agama RI, Konfik Etno Religius Indonesia Kontemporer, Jakarta, Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan Puslitbang Kehidupan Beragama Bagian Proyek Peningkatan Pengkajian Kerukunan Hidup Umat Beragama, 2003.

Hamim, Thoha dkk, Resolusi Konflik Islam Indonesia, Yogyakarta, PT. LkiS, 2007.
                                                                                                              
Musahadi dkk, Mediasi dan Resolusi Konflik di Indonesia; dari konflik agama hingga mediasi peradilan, Semarang, WMC IAIN Walisongo, 2007.

Website
www.scribd.com/doc/76190116/Agama-Dan-Konflik ... (29/02/2012)
www.blogdetik.com/2011/02/.../islam-sebuah-resolusi-konflik... (01/03/2012)



[1] Prof. Amin Abdullah, Peran Pemimpin Politik dan Agama dalam Mengurai dan Resolusi Konflik dan Kekerasan dalam buku,  Antologi Isu-isu Global dalam Kajian dan Filsafat, Yogyakarta, Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, 2010. Hlm 1.
[2] Agama disembunyikan dari ruang publik agar terhindar dari politisasi agama,  Orang-orang yang cenderung menyalahkan agama didebat untuk memberikan pemahaman lebih spesifik tentang arti agama di ruang private dan agama di ruang publik, karena penjelasan tentang itu akan memperjelas dimana seharusnya agama diposisikan.
[3]Ada prasangka masyarakat tentang agama bahwa agama yang membawa perdamaian, kenyamanan sekarang sudah tidak lagi di agung-agung oleh masyarakat, bahkan agama dianggap sebagai pembawa konflik, sehingga ada pertanyaan apakan agama itu baik atau jahat.
[4] Di sini Kimbal ingin menunjukan bahwa agama pada dasarnya baik dan tidak bisa dipersalahkan. Jika kemudian terjadi clash antar agama, menguatnya prasangka negatif antar kelompok, hingga munculnya tindak kekerasan akibat relasi yang buruk pertama-tama dan terutama adalah persoalan para penganut agama-agama, dan lebih khusus bagi, persoalan para ‘pemegang’ atau ‘pengendali’ agama-agama, yaitu para pemimpin agama-agama. Tidak bisa dipungkiri bahwa di tangan para pemimpin agama, sebuah agama bisa menjadi oase iman yang menyejukan. Namun, di sisi lain agama juga berpotensi menjadi sarana pembibitan kekerasan dan radikalisme, menjadi sumber malapetaka bagi siapa saja. Di situlah kemudian citra agama menjadi buruk.
[5]Fathurrahman.blogdetik.com/2011/02/.../islam-sebuah-resolusi-konflik... (01/03/2012)
[6] Peran sosial-kemasyarakatan lembaga-lembaga tersebut cukup efektif, terutama dalam konteks membangun relasi yang harmonis antarkelompok masyarakat, Karena ada pada sebagian kelompok masyarakat dijumpai pola kehidupan beragama yang eksklusif, sehingga berpotensi mengganggu hubungan sosial baik intern umat beragama maupun antarumat beragama.
[7] www.scribd.com/doc/76190116/Agama-Dan-Konflik ... (29/02/2012)
[8]Agama siar memberikan kewajiban pemeluk agamanya untuk menyampaikan ajaran agama mereka.
[9]Agama non siar tidak mewajibkan pemeluknya untuk menyebarkan agama kepada pihak lain.
[10]Ini dapat dicontohkan pada seseorang agamawan yang meyakini ajaran agamanya dan kemudian diimplikasikannya dalam hidup dan kehidupan sehari-hari.
11Coward, Pluralisme dan Tantangan Agama-agama (Yogyakarta: Kanisius: 1989), 5.
12Ibid, 167.
13Ada beberapa fenomena yang dapat dilihat sebagai bentuk kehidupan beragama simbolik yang terjadi di Tanah Air. Pertama, semarak tuntutan pemberlakuan syariat Islam, yang sudah merambah ke daerah-daerah, sejak ditolak di parlemen melalui proses amandemen Undang-Undang Dasar 1945. Dimulai dari Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) yang memberlakukan syariat Islam 1 Muharram 1423 H (15 Maret 2002), lalu ke Cianjur dan Tasikmalaya. Bahkan, belum lama ini Pamekasan mulai mengkaji aspek pemberlakuan syariat Islam melalui peraturan daerah.
14Ini dapat kita lihat di Provinsi NAD, dan berbusana Islam di kantor-kantor pemerintah seperti di Tasikmalaya, Cianjur, dan Pamekasan.