Kamis, 15 Maret 2012


AGAMA DAN HAK ASASI MANUSIA
(RELIGION AND HUMAN RIGHTS)


A.    Pendahuluan
Dalam peradaban  modern, wacana hak asasi manusia ( HAM ) sangat krusial dan penting. Hal ini terjadi dengan seiring pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan, manusia semakin menyadari hakikat diri dan hak-haknya sebagai manusia yang bebas dan lepas dari sesuatu yang membelenggu dirinya.
Secara normatif, wacana hak asasi manusia ( HAM ) di Indonesia hadir bersama dengan lahirnya bangsa Indonesia. Hal ini dapat kita lihat dengan jelas dalam falsafah dan ideologi bangsa yang tertuang dalam sila-sila Pancasila, mukadimah dan pasal-pasal UUD 45. Para founding fathers secara sadar berkomitmen untuk menegakkan nilai-nilai kemanusiaan. Nilai-nilai HAM seperti keadilan, kesejahteraan, persatuan dan kesatuan kemanusiaan dan demokrasi dijadikan tujuan leluhur dan masa depan bangsa.
Ketika kita melangkah untuk memahami Islam dalam perspektif HAM, kita selalu akan dihadapkan pada pertanyaan akademis: apakah Islam memang    memberikan pengajaran di bidang ini? Secara umum, kita tentu dapat menjawab bahwa Islam adalah agama komprehensif, karena al-Qur'an yang merupakan himpunan wahyu Ilahi yang disampaikan kepada Nabi Muhammad adalah kitab yang berfungsi "memberikan petujuk dan penjelas atas petunjuk itu (al-bayan) serta pembeda" antara kebenaran dengan kesalahan (al-furqan).
Persoalan  hak asasi manusia (HAM) erat kaitannya  dengan  konsepsi  filosofis dengan suatu aliran pemikiran tentang manusia[1]. Perbedaan pandangan metafisik terhadap manusia inilah yang melahirkan perbedaan konsepsi manusia tentang kehidupan pribadi dan sosial manusia, pemisahan antara hukum fiqih dan hukum negara (UU). Kalau kita lihat fenomena sekarang ini, terjadinya pelanggaran HAM yang mengatasnamakan agama, seperti seorang “publik pigur” yang berurusan langsung dengan Komisi Nasional Perlindungan Anak (KNPA) karena dinilai melanggar HAM dengan menikahi seorang anak perempuan dibawah umur. Belum lagi permasalahan-permasalahan social lainnya yang berhubungan dengan Hak Asasi Manusia misalnya isu  diskriminasi gender, agama dan kepercayaan, hubungan antar agama (Islam dengan Nonmuslim).  
Tidak adanya komitmen para penguasa (pemerintah) dalam menangani pelanggaran hak asasi manusia ( HAM ) yang terjadi di Indonesia, menantang kita untuk berpikir untuk masa depan bangsa Indonesia yang beradap, adil, sejahtera, dan rukun bersaudara dalam pluralitas. Dimana gerakan sosial sebagai gerakan dari civil society, akan menjadi sumber formulasi baru untuk menegakkan hak asasi manusia ( HAM ) di Indonesia.
Sebagaimana gagasan yang disampaikan Dr. Felix Wilfred[2] (1998), diperlukan social and autonomy movements as parts of civil society. Gerakan sosial mempunyai gerakan penting untuk membela hak asasi manusia (HAM), sebab merupakan kenyataan bahwa efektifitas pembelaan hak asasi manusia (HAM) di negeri ini mengalami ketimpangan akibat tidak adanya refleksi menyeluruh dan kurangnya partisipasi dalam melawan pelanggaran hak asasi manusia, masing-masing bergerak dengan sendiri-sendiri dan kurang menjalin kerjasama dengan baik.
Selain itu, tidak hanya hak asasi manusia yang diajukan dalam Deklarasi Universal yang diprasangkai mengandung bias Barat yang kuat, melainkan ada kecendrungan untuk memandang hak-hak asasi manusia secara historis dan dipisahkan begitu saja dari konteks lingkungan sosial, politik dan ekonomi.[3] Di sisi lain umat islam hendaknya tidak lagi terjebak dalam kecurigaan dengan menganggap segala sesuatu yang gencar didesakkan oleh Barat, termasuk didalamnya hak asasi manusia, sebagai seperangkat nilai-nilai yang hendak diekspor dengan skala global. Bisa jadi hak asasi manusia merupakan konsensus lintas agama untuk dan budaya dalam upaya penegakan keadilan politik di tengah-tengah ancaman, kemungkinan eksploitasi kekuasaan negara dan pasar modern.

B.     Konsepsi dan Problematika Wacana Hak Asasi Manusia
Isu paling mendasar dalam wacana hak asasi manusia ( HAM ) berkaitan dengan Islam adalah bagaimana memposisikan doktrin-doktrin dalam literatur klasik Islam? Tidak dapat dipungkiri bahwa sebagian ajaran dalam kontruksi klasik ini bersifat deskriminatif, bias gender dan bersemangat mengancam komunitas non-muslim. Kontruksi ini bukan mengada-ngada tanpa dasar justifikasi, sebaliknya basis pembenarannya jelas-jelas diambil dari teks-teks al-qur’an dan hadits. Tragisnya konstruksi-konstruksi yang diskriminatif, bias gender dan memojokkan komunitas non-muslim itu dianggap syariah, yang berarti dianggap sebagai ajaran pokok Islam yang tidak boleh diubah dan disanggah.
Sekedar contoh: para ahli figh Islam dan Tafsir al-Qur’an sampai sekarang masih berdebat tentang kebolehan perempuan menjadi pemimpin dalam suatu pemerintahan dan imam sholat, kesaksian dua perempuan sebanding dengan seorang laki-laki, masalah waris. Sementara itu, hak asasi manusia ( HAM ) modern juga memuat semangat kesetaraan hak dan kewajiban bagi kelompok-kelompok minoritas[4].
Di samping itu, kontroversi tentang hubungan Islam dan HAM juga terikat dengan perbedaan dan pertentangan antara HAM dengan syari’ah atau, lebih tepatnya, tafsiran tradisional terhadap syari’ah yang menawarkan sistem peraturan normatif yang komperehensif dan dapat diterapkan secara politis. Menurut Heiner Bielefeldt, perbedaan dan pertentangan antara HAM modern dengan syari’ah tidak mengherankan karena secara historis, prinsip emansipatoris yang terkandung dalam gagasan HAM adalah prinsip yang baru lahir di zaman modern, sementara syari’ah lahir jauh lebih dulu, tepatnya sejak abad-abad awal sejarah Islam.[5]
Lantas bagaimana rumusan konsepsi hak asasi manusia yang ada dalam Universal Declaration of Human Right, Perserikatan Bangsa-bangsa? Konsep hak asasi manusia universal dalam piagamnya berisi “pengakuan atas martabat alamiah dan hak-hak yang sama dan tidak terasingkan dari semua anggota keluarga kemanusiaan, keadilan dan perdamaian di dunia”. Kemudian dinyatakan secara tegas tentang konsepsi hak asasi manusia sebagai berikut:
( pasal 1 ) “semua orang dilahirkan merdeka dam mempunyai martabat dan hak yang sama. Mereka dianugerahi akal dan budi nurani dan hendaknya satu sama lain bergaul dalam semangat persaudaraan”.
 ( pasal 2) “setiap orang mempunyai hak atas semua hak dan kebebasan yang termaktub di dalam setiap pernyataan ini, tanpa kekecualian macam apapun, seperti asal usul keturunan, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pendirian politik atau pendirian lainnya, kebangsaan atau asal usul sosial, hak milik, status kelahiran ataupun status lainnya”.[6]
Pertanyaan tentang apakah human rights bersifat universal atau partikular sudah lama dibicarakan oleh para ilmuan sosial diberbagai penjuru dunia. Apakah setiap pasal yang ditulis dalam deklarasi itu mengandung nilai-nilai universal? Bisakah semua nilai itu diaplikasikan di setiap negara dan setiap masa dengan melampau batas-batas budaya? Pertanyaan-pertanyaan itu wajar muncul karena PBB mencantumkan kata “universal” dalam judul deklarasi tersebut. Padahal Universal Declaration of Human Rights bukanlah kebenaran wahyu dari Dzat yang transenden untuk manusia di dunia. Deklarasi ini tidak lebih dari sekedar sebuah dokumen yang disepakati oleh sekelompok orang dalam konteks socio-historis yang spesifik. Menurut Honey (1999) deklarasi itu merupakan hasil dari pergulatan politik, sosial, budaya dan ekonomi dalam suatu masa.
Lebih jauh, konsep human rights adalah merupakan hasil perkembangan peradaban Barat. Ini merupakan produk historis Eropa sebagai bentuk perlawanan gerakan pluralisme terhadap feodalisme yang berkembang di Eropa ketika itu. Karenanya, penting untuk dicatat bahwa, human rights bagi Bielefeldt (1995) mempunyai hubungan eksklusif dengan kultur dan filsafat hidup Barat yang lebih cocok diterapkan pada masyarakat Barat. Karena isu human rights merupakan respon politik terhadap munculnya modern-state di Eropa Barat, maka menurut Afshari (1994) adalah sangat logis dan natural kalau konsep itu lebih mudah diterima dan diterapkan pada kultur masyarakat Barat.
Pengaruh kebudayaan Barat yang sangat menentukan terhadap eksistensi Deklarasi Universal HAM dan juga terhadap formulasi lebih lanjut konvenan-konvenan hak asasi manusia ( HAM ) internasional merupakan fakta yang tidak bisa dibantah. Kesadaran akan hal tersebut telah mengakibatkan konflik ideologis dalam wacana internasional tentang hak asasi manusia. konflik itu berupa tantangan terhadap penerapan hak asasi manusia ( HAM ) universal dan penolakan terhadap pemahaman bahwa norma-norma hak asasi manusia dapat dipahami sebagai standar yang tidak mengenal batas waktu dan perbedaan kebangsaan di seluruh dunia. Penolakan-penolakan dan tantangan-tantangan sering berupa klaim tentang perbedaan dan relativisme seputar tradisi-tradisi filosofis, religius, dan kebudayaan.[7]
Dalam moment historis seperti ini menjadi jelas bahwa ada suatu persepsi ysng meluas tentang norma-norma yang menghadirkan ketegangan dalam HAM universal yang disebabkan oleh perbedaan moral dan kultural di dunia ini.
Dari penjelasan diatas nampak dengan jelas bahwa adalah cukup sulit untuk menerapkan standar human rights yang diformulasikan Barat diterapkan pada kultur non-Barat, termasuk pada masyarakat yang memegang etika religius yang ketat seperti pada umumnya masyarakat Timur. Lalu bagaimana hubungan antara Declaration Human Rights dengan nilai-nilai etika Islam?

C.    Keanekaragaman dan Perbedaan: Budaya dan Hak Asasi Manusia
Masalah imferialisme budaya, Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia menyatakan dalam pasal 1, bahwa semua manusia dilahirkan setara dengan hak-hak. Selain itu Deklarasi Wina Tahun 1993 menegaskan bahwa semua hak asasi manusia bersifat universal tak terpisahkan dan saling ketergantungan. Sebagaimana dalam teori umun tentang hak asasi manusia bahwa semua manusia memiliki hak asasi manusia hanya karena mereka adalah manusia ( Gewirth 1982: 1; Donnelly 1985: 1; 1999: 79).[8]
Telah kita ketahui bersama bahwa klaim tentang hak asasi manusia bersifat Universal itu tidak benar, ini didukung oleh teks Deklarasi Universal pasal 25 mengatakan bahwa ibu dan anak berhak atas bantuan dan perawatan khusus. Menurut deklarasi tersebut, beberapa hak asasi manusia hanya milik kategori khusus manusia. Sebagaimana dengan Deklarasi Wina mengakui sejumlah kategori khusus seperti perempuan, anak-anak, minoritas, masyarakat adat, penyandang cacat, pengungsi, pekerja migran, miskin dan secara sosial dikecualikan.[9]
Hak asasi manusia yang katanya universal, tidak ada kategori khusus dari pemegang hak asasi manusia tersebut bahwa semua orang adalah sama dalam hak tanpa ada perbedaan dalam bentuk apapun. Menurut beberapa kritikus hak asasi manusia yang mengkalim bahwa hak asasi manusia bersifat universal mengabaikan kenyataan bahwa manusia yang berbeda. Universal dari hak asasi manusia adalah penyamaran ideologis untuk imperialisme budaya.
Konsep hak asasi manusia didasarkan pada konsepsi individualisme liberal Barat dan konsepsi ini tidak memiliki akar budaya-budaya non-Barat (Aidoo 1993; Bell et’al 1995).[10]  Beberapa sarjana yang sangat skeptis terhadap klaim, umumnya dibuat di kalangan PBB, bahwa konsep hak asasi manusia memiliki akar dalam kebudayaan non-Barat.
Menurut Antonio Cassesse menjelaskan bahwa terdapat perbedaan mengenai konsepsi filsafat manusia dan hak asasi manusia. Menurutnya, negara-negara Barat sangat mempertahankan pemikiran-pemikiran mereka bahwa hak asasi manusia bersifat “alami”, atau natural. Artinya, hak asasi manusia secara inheren telah ada dan melekat pada manusia lebih awal dari pada rumusan-rumusan hak asasi manusia yang ada.[11]
Argumen tentang hak asasi manusia yang universalisme yang dianggap populer menyatakan dua ide yang memiliki daya tarik yang luas yaitu: setiap orang adalah sama berhak untuk menghormati, untuk menghormati seseorang memerlukan rasa hormat terhadap budaya orang lain, karena budaya merupakan identitas seseorang.[12] Namun prinsip-prinsip ini tidak konsisten dengan relativisme budaya karena hak asasi manusia yang universal. Prinsip bahwa kita harus menghormati semua budaya saling bertentangan, karena beberapa budaya tidak menghormati semua budaya. 
Menurut Nurcholis Madjid bahwa manusia memiliki harkat dan martabat yang setara dan sama, perbedaan-perbedaan seperti kekayaan, kekuasaan dan peran sosial hanyalah bersifat artifisial dan tidak substantial. Manusia dalam visi islam adalah sama-sama makhluk mulia, bermartabat dan berderajat tinggi.[13]



D.    Kesimpulan
Sejak dicanangkannya Deklarasi Universal hak asasi manusia dan berturut-turut diratifikasinnya dua kovenan internasional tentang hak-hak sipil dan politik serta hak ekonomi, sosial dan budaya, dunia internasional terus berupaya mencari dan melakukan langkah-langkah efektif penegakan nilai-nilai kemanusiaan secara universal. Sebab kenyataannya pelaku pelanggaran atas harkat dan martabat kemanusian tidak hanya individu melainkan juga negara yang selama ini mengklaim sebagai pendekar hak asasi manusia.
 Sadar atau tidak mereka masih melakukan kejahatan kemanusiaan baik secara tertutup maupun terbuka. Kejahatan tertutup seperti perlakuan tidak manusiawi yang terjadi dalam penjara, berupa penyiksaan untuk mendapatkan pengakuan, informasi tentang gerakan perlawanan atau terhadap kelompok yang dianggap teroris maupun lawan politik. Adapun kejahatan diruang terbuka berupa penyerangan, pembunuhan rakyat sipil yang tidak berdosa, dan pembersihan etnis dan suku bangsa seperti di Bosnia,
Atas dasar itu semua, upaya penyadaran, penegakan harkat dan martabat kemanusiaan ini penting untuk dilakukan. Kemudian untuk tujuan yang pragmatis para partisipan dalam komunitas religius dan dalam komunitas yang peduli terhadap hak asasi manusia harus mempertimbangkan ekspresi-ekspresi hak asasi manusia dalam produk kesadaran yang kuat dan masyarakat yang berbeda-beda dan yang dipengaruhi oleh perbedaan tradisi-tradisi kultural mereka sendiri.
Selain itu, karena pelanggaran hak asasi manusia satu terhadap lainnya hingga kini masih terus berlangsung, kita berharap dapat melihat momen-momen kesadaran lebih maju dan bentuk-bentuk hak asasi manusia berkembang. Harapan tertinggi yang dapat dicapai adalah pengetahuan tentang hak-hak kultural penduduk asli dan merupakan hasil dari kemajuan klaim terhadap hak-hak yang ditujukan untuk memberi perlindungan yang sarat dengan nilai-nilai penduduk asli.

E.     Daftar Pustaka
Freeman, Michael, ”Human Rights an Interdisciplinary approach,” Cambrige, Polity Press, 2002

Kalsay, John dan Sumner B. Twiss, “Agama dan Hak Asasi Manusia,” Yogyakarta, Interfidei, 2007

Litle David, John Kelsey dan  Abdul aziz A. Sachedina, “Kebebasan  beragama dan Hak Asasi Manusia. Yogyakarta, ACAdeMIA, 1997.

Mahendra, Yusril Izza, “Konsepsi Islam Tentang HAM dan Persaudaraan”, Jurnal Dirosah Islamiyah, 1, 2003

Malian, Sobirin, Suparman Marzuki, “Pendidikan Kewarganegraan dan Hak Asasi Manusia,” Yogyakarta; UII Press, 2002

Munib, Muhammad, Islah Bahrawi,  Islam dan Hak Asasi Manusia Dalam Pandangan Nurcholish Madjid, jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama, 2011.

Purnomo, Aloys Budi, “Rakyat Bukan Tumbal kekerasan dan Kekuasaan” Jakarta, PT. Gramedia Pustaka Utama. 2007.














  [1] Yusril Izza Mahendra, “Konsepsi Islam Tentang HAM dan Persaudaraan”, Jurnal Dirosah Islamiyah, 1, 2003.hal. 134
[2] Lihat Aloys Budi Purnomo “Rakyat Bukan Tumbal kekerasan dan Kekuasaan” Jakarta, PT. Gramedia Pustaka Utama. 2007. Hal. 122.
[3] Lihat David litle, John Kelsey dan  Abdul aziz, “Kebebasan  beragama dan Hak Asasi Manusia.  hal. xi
[4] Muhammad Munib, Islah Bahrawi,  Islam dan Hak Asasi Manusia Dalam Pandangan Nurcholish Madjid, jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama, 2011.hal. 38-39
[5]Heiner Bielefeldt, 1995, “Moslem Voices in Human Rights Debate“ dalam Human Rights Quarterly, No. 17 Vo. 4, John Hopkins University Press. dikutip dari Supriyanto Abdi, 2002,” Mengurai …., hlm.71.
[6]Muhammad Munib, Islah Bahrawi,  “Islam dan Hak Asasi Manusia Dalam.........................., hal.  39

[7] Penolakan-penolakan dan tantangan-tantangan tersebut makin diperburuk dengan diskursus yang terjadi akhir-akhir ini, yang menyesatkan dan menyebabkan terjadinya benturan peradaban dan kebudayaan dalam arena politik global; lihat,  John Kasley dan Summer; “agama dan hak-hak asasi manusia”, 2007. Hal 58.
[8] Lihat Michael Freeman,”Human Rights.................hal 101
[9] Ibit.
[10] Ibit. 103
[11]Muhammad Munib, Islah Bahrawi,  Islam dan Hak Asasi Manusia Dalam Pandangan Nurcholish Madjid, jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama, 2011.hal. 46.
[12] Lihat Michael Freeman,”Human Rights.................hal 108
[13] Karena itu sesama manusia tidak diperkenankan untuk membedakan satu dari yang lain dalam hal harkat dan martabat. Hanya dalam  pandangan Allah manusia berbeda-beda dari satu pribadi ke pribadi lainnya dalam hal kemuliaan berdasarkan tingkat ketaqwaan kepada Allah. Sedangkan sesama manusia, pandangan yang benar adalah bahwa semua pribadi adalah sama dalam harkat dan martabat, dengan imbasnya dalam kesamaan hak dan kewajiban asasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar