AGAMA DAN HAK ASASI MANUSIA
(RELIGION AND HUMAN RIGHTS)
A.
Pendahuluan
Dalam
peradaban modern, wacana hak asasi
manusia ( HAM ) sangat krusial dan penting. Hal ini terjadi dengan seiring
pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan, manusia semakin menyadari hakikat diri
dan hak-haknya sebagai manusia yang bebas dan lepas dari sesuatu yang
membelenggu dirinya.
Secara
normatif, wacana hak asasi manusia ( HAM ) di Indonesia hadir bersama dengan
lahirnya bangsa Indonesia. Hal ini dapat kita lihat dengan jelas dalam falsafah
dan ideologi bangsa yang tertuang dalam sila-sila Pancasila, mukadimah dan
pasal-pasal UUD 45. Para founding fathers secara sadar berkomitmen untuk
menegakkan nilai-nilai kemanusiaan. Nilai-nilai HAM seperti keadilan,
kesejahteraan, persatuan dan kesatuan kemanusiaan dan demokrasi dijadikan
tujuan leluhur dan masa depan bangsa.
Ketika
kita melangkah untuk memahami Islam dalam perspektif HAM, kita selalu akan
dihadapkan pada pertanyaan akademis: apakah Islam memang memberikan
pengajaran di bidang ini? Secara umum, kita tentu dapat menjawab bahwa Islam
adalah agama komprehensif, karena al-Qur'an yang merupakan himpunan wahyu Ilahi
yang disampaikan kepada Nabi Muhammad adalah kitab yang berfungsi
"memberikan petujuk dan penjelas atas petunjuk itu (al-bayan) serta
pembeda" antara kebenaran dengan kesalahan (al-furqan).
Persoalan hak
asasi manusia (HAM) erat kaitannya
dengan konsepsi filosofis dengan suatu aliran pemikiran
tentang manusia[1].
Perbedaan pandangan metafisik terhadap manusia inilah yang melahirkan perbedaan
konsepsi manusia tentang kehidupan pribadi dan sosial manusia, pemisahan antara
hukum fiqih dan hukum negara (UU). Kalau kita lihat fenomena sekarang ini, terjadinya
pelanggaran HAM yang mengatasnamakan agama, seperti seorang “publik pigur” yang
berurusan langsung dengan Komisi Nasional Perlindungan Anak (KNPA) karena
dinilai melanggar HAM dengan menikahi seorang anak perempuan dibawah umur.
Belum lagi permasalahan-permasalahan social lainnya yang berhubungan dengan Hak
Asasi Manusia misalnya isu diskriminasi
gender, agama dan kepercayaan, hubungan antar agama (Islam dengan Nonmuslim).
Tidak adanya komitmen para penguasa (pemerintah)
dalam menangani pelanggaran hak asasi manusia ( HAM ) yang terjadi di
Indonesia, menantang kita untuk berpikir untuk masa depan bangsa Indonesia yang
beradap, adil, sejahtera, dan rukun bersaudara dalam pluralitas. Dimana gerakan
sosial sebagai gerakan dari civil society, akan menjadi sumber formulasi
baru untuk menegakkan hak asasi manusia ( HAM ) di Indonesia.
Sebagaimana gagasan yang disampaikan Dr. Felix
Wilfred[2]
(1998), diperlukan social and autonomy movements as parts of civil society. Gerakan
sosial mempunyai gerakan penting untuk membela hak asasi manusia (HAM), sebab
merupakan kenyataan bahwa efektifitas pembelaan hak asasi manusia (HAM) di
negeri ini mengalami ketimpangan akibat tidak adanya refleksi menyeluruh dan
kurangnya partisipasi dalam melawan pelanggaran hak asasi manusia,
masing-masing bergerak dengan sendiri-sendiri dan kurang menjalin kerjasama
dengan baik.
Selain itu, tidak hanya hak asasi manusia yang
diajukan dalam Deklarasi Universal yang diprasangkai mengandung bias Barat yang
kuat, melainkan ada kecendrungan untuk memandang hak-hak asasi manusia secara
historis dan dipisahkan begitu saja dari konteks lingkungan sosial, politik dan
ekonomi.[3]
Di sisi lain umat islam hendaknya tidak lagi terjebak dalam kecurigaan dengan
menganggap segala sesuatu yang gencar didesakkan oleh Barat, termasuk
didalamnya hak asasi manusia, sebagai seperangkat nilai-nilai yang hendak
diekspor dengan skala global. Bisa jadi hak asasi manusia merupakan konsensus
lintas agama untuk dan budaya dalam upaya penegakan keadilan politik di
tengah-tengah ancaman, kemungkinan eksploitasi kekuasaan negara dan pasar modern.
B.
Konsepsi dan Problematika Wacana Hak Asasi
Manusia
Isu paling mendasar dalam wacana hak asasi manusia ( HAM ) berkaitan dengan Islam
adalah bagaimana memposisikan doktrin-doktrin dalam literatur klasik Islam?
Tidak dapat dipungkiri bahwa sebagian ajaran dalam kontruksi klasik ini
bersifat deskriminatif, bias gender dan bersemangat mengancam komunitas non-muslim.
Kontruksi ini bukan mengada-ngada tanpa dasar justifikasi, sebaliknya basis
pembenarannya jelas-jelas diambil dari teks-teks al-qur’an dan hadits.
Tragisnya konstruksi-konstruksi yang diskriminatif, bias gender dan memojokkan
komunitas non-muslim itu dianggap syariah, yang berarti dianggap sebagai
ajaran pokok Islam yang tidak boleh diubah dan disanggah.
Sekedar contoh:
para ahli figh Islam dan Tafsir al-Qur’an sampai sekarang masih berdebat
tentang kebolehan perempuan menjadi pemimpin dalam suatu pemerintahan dan imam
sholat, kesaksian dua perempuan sebanding dengan seorang laki-laki, masalah
waris. Sementara itu, hak asasi manusia ( HAM ) modern juga memuat semangat
kesetaraan hak dan kewajiban bagi kelompok-kelompok minoritas[4].
Di samping itu, kontroversi tentang hubungan Islam dan HAM
juga terikat dengan perbedaan dan pertentangan antara HAM dengan syari’ah atau,
lebih tepatnya, tafsiran tradisional terhadap syari’ah yang menawarkan sistem
peraturan normatif yang komperehensif dan dapat diterapkan secara politis.
Menurut Heiner Bielefeldt, perbedaan dan pertentangan antara HAM modern dengan
syari’ah tidak mengherankan karena secara historis, prinsip emansipatoris yang
terkandung dalam gagasan HAM adalah prinsip yang baru lahir di zaman modern,
sementara syari’ah lahir jauh lebih dulu, tepatnya sejak abad-abad awal sejarah
Islam.[5]
Lantas bagaimana rumusan konsepsi hak asasi
manusia yang ada dalam Universal Declaration of Human Right,
Perserikatan Bangsa-bangsa? Konsep hak asasi manusia universal dalam piagamnya
berisi “pengakuan atas martabat alamiah dan hak-hak yang sama dan tidak
terasingkan dari semua anggota keluarga kemanusiaan, keadilan dan perdamaian di
dunia”. Kemudian dinyatakan secara tegas tentang konsepsi hak asasi manusia
sebagai berikut:
( pasal 1 ) “semua orang dilahirkan merdeka dam
mempunyai martabat dan hak yang sama. Mereka dianugerahi akal dan budi nurani
dan hendaknya satu sama lain bergaul dalam semangat persaudaraan”.
( pasal 2)
“setiap orang mempunyai hak atas semua hak dan kebebasan yang termaktub di
dalam setiap pernyataan ini, tanpa kekecualian macam apapun, seperti asal usul
keturunan, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pendirian politik atau
pendirian lainnya, kebangsaan atau asal usul sosial, hak milik, status
kelahiran ataupun status lainnya”.[6]
Pertanyaan
tentang apakah human rights bersifat universal atau partikular sudah
lama dibicarakan oleh para ilmuan sosial diberbagai penjuru dunia. Apakah
setiap pasal yang ditulis dalam deklarasi itu mengandung nilai-nilai universal?
Bisakah semua nilai itu diaplikasikan di setiap negara dan setiap masa dengan
melampau batas-batas budaya? Pertanyaan-pertanyaan itu wajar muncul karena PBB
mencantumkan kata “universal” dalam judul deklarasi tersebut. Padahal Universal
Declaration of Human Rights bukanlah kebenaran wahyu dari Dzat yang
transenden untuk manusia di dunia. Deklarasi ini tidak lebih dari sekedar
sebuah dokumen yang disepakati oleh sekelompok orang dalam konteks socio-historis
yang spesifik. Menurut Honey (1999) deklarasi itu merupakan hasil dari
pergulatan politik, sosial, budaya dan ekonomi dalam suatu masa.
Lebih jauh,
konsep human rights adalah merupakan hasil perkembangan peradaban Barat.
Ini merupakan produk historis Eropa sebagai bentuk perlawanan gerakan
pluralisme terhadap feodalisme yang berkembang di Eropa ketika itu. Karenanya,
penting untuk dicatat bahwa, human rights bagi Bielefeldt (1995) mempunyai
hubungan eksklusif dengan kultur dan filsafat hidup Barat yang lebih cocok
diterapkan pada masyarakat Barat. Karena isu human rights merupakan
respon politik terhadap munculnya modern-state di Eropa Barat, maka
menurut Afshari (1994) adalah sangat logis dan natural kalau konsep itu lebih
mudah diterima dan diterapkan pada kultur masyarakat Barat.
Pengaruh
kebudayaan Barat yang sangat menentukan terhadap eksistensi Deklarasi Universal
HAM dan juga terhadap formulasi lebih lanjut konvenan-konvenan hak asasi
manusia ( HAM ) internasional merupakan fakta yang tidak bisa dibantah.
Kesadaran akan hal tersebut telah mengakibatkan konflik ideologis dalam wacana
internasional tentang hak asasi manusia. konflik itu berupa tantangan terhadap
penerapan hak asasi manusia ( HAM ) universal dan penolakan terhadap pemahaman
bahwa norma-norma hak asasi manusia dapat dipahami sebagai standar yang tidak
mengenal batas waktu dan perbedaan kebangsaan di seluruh dunia.
Penolakan-penolakan dan tantangan-tantangan sering berupa klaim tentang
perbedaan dan relativisme seputar tradisi-tradisi filosofis, religius, dan
kebudayaan.[7]
Dalam
moment historis seperti ini menjadi jelas bahwa ada suatu persepsi ysng meluas
tentang norma-norma yang menghadirkan ketegangan dalam HAM universal yang
disebabkan oleh perbedaan moral dan kultural di dunia ini.
Dari
penjelasan diatas nampak dengan jelas bahwa adalah cukup sulit untuk menerapkan
standar human rights yang diformulasikan Barat diterapkan pada kultur
non-Barat, termasuk pada masyarakat yang memegang etika religius yang ketat
seperti pada umumnya masyarakat Timur. Lalu bagaimana hubungan antara Declaration
Human Rights dengan nilai-nilai etika Islam?
C.
Keanekaragaman
dan Perbedaan: Budaya dan Hak Asasi Manusia
Masalah imferialisme budaya, Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia menyatakan dalam pasal
1, bahwa semua manusia dilahirkan setara dengan hak-hak. Selain itu Deklarasi
Wina Tahun 1993 menegaskan bahwa semua hak asasi manusia bersifat universal tak
terpisahkan dan saling ketergantungan. Sebagaimana dalam teori umun tentang hak
asasi manusia bahwa semua manusia memiliki hak asasi manusia hanya karena
mereka adalah manusia ( Gewirth 1982: 1; Donnelly 1985: 1; 1999: 79).[8]
Telah kita ketahui bersama bahwa klaim tentang
hak asasi manusia bersifat Universal itu tidak benar, ini didukung oleh teks
Deklarasi Universal pasal 25 mengatakan bahwa ibu dan anak berhak atas bantuan
dan perawatan khusus. Menurut deklarasi tersebut, beberapa hak asasi manusia
hanya milik kategori khusus manusia. Sebagaimana dengan Deklarasi Wina mengakui
sejumlah kategori khusus seperti perempuan, anak-anak, minoritas, masyarakat
adat, penyandang cacat, pengungsi, pekerja migran, miskin dan secara sosial
dikecualikan.[9]
Hak asasi manusia yang katanya universal,
tidak ada kategori khusus dari pemegang hak asasi manusia tersebut bahwa semua
orang adalah sama dalam hak tanpa ada perbedaan dalam bentuk apapun. Menurut
beberapa kritikus hak asasi manusia yang mengkalim bahwa hak asasi manusia
bersifat universal mengabaikan kenyataan bahwa manusia yang berbeda. Universal
dari hak asasi manusia adalah penyamaran ideologis untuk imperialisme budaya.
Konsep hak asasi manusia didasarkan pada
konsepsi individualisme liberal Barat dan konsepsi ini tidak memiliki akar
budaya-budaya non-Barat (Aidoo 1993; Bell et’al 1995).[10] Beberapa sarjana yang sangat skeptis terhadap
klaim, umumnya dibuat di kalangan PBB, bahwa konsep hak asasi manusia memiliki
akar dalam kebudayaan non-Barat.
Menurut Antonio Cassesse menjelaskan bahwa
terdapat perbedaan mengenai konsepsi filsafat manusia dan hak asasi manusia.
Menurutnya, negara-negara Barat sangat mempertahankan pemikiran-pemikiran
mereka bahwa hak asasi manusia bersifat “alami”, atau natural. Artinya, hak asasi
manusia secara inheren telah ada dan melekat pada manusia lebih awal dari pada
rumusan-rumusan hak asasi manusia yang ada.[11]
Argumen tentang hak asasi manusia yang
universalisme yang dianggap populer menyatakan dua ide yang memiliki daya tarik
yang luas yaitu: setiap orang adalah sama berhak untuk menghormati, untuk
menghormati seseorang memerlukan rasa hormat terhadap budaya orang lain, karena
budaya merupakan identitas seseorang.[12]
Namun prinsip-prinsip ini tidak konsisten dengan relativisme budaya karena hak
asasi manusia yang universal. Prinsip bahwa kita harus menghormati semua budaya
saling bertentangan, karena beberapa budaya tidak menghormati semua
budaya.
Menurut Nurcholis Madjid bahwa manusia
memiliki harkat dan martabat yang setara dan sama, perbedaan-perbedaan seperti
kekayaan, kekuasaan dan peran sosial hanyalah bersifat artifisial dan tidak
substantial. Manusia dalam visi islam adalah sama-sama makhluk mulia,
bermartabat dan berderajat tinggi.[13]
D.
Kesimpulan
Sejak dicanangkannya Deklarasi
Universal hak asasi manusia dan berturut-turut diratifikasinnya dua kovenan
internasional tentang hak-hak sipil dan politik serta hak ekonomi, sosial dan
budaya, dunia internasional terus berupaya mencari dan melakukan
langkah-langkah efektif penegakan nilai-nilai kemanusiaan secara universal.
Sebab kenyataannya pelaku pelanggaran atas harkat dan martabat kemanusian tidak
hanya individu melainkan juga negara yang selama ini mengklaim sebagai pendekar
hak asasi manusia.
Sadar
atau tidak mereka masih melakukan kejahatan kemanusiaan baik secara tertutup
maupun terbuka. Kejahatan tertutup seperti perlakuan tidak manusiawi yang
terjadi dalam penjara, berupa penyiksaan untuk mendapatkan pengakuan, informasi
tentang gerakan perlawanan atau terhadap kelompok yang dianggap teroris maupun
lawan politik. Adapun kejahatan diruang terbuka berupa penyerangan, pembunuhan
rakyat sipil yang tidak berdosa, dan pembersihan etnis dan suku bangsa seperti
di Bosnia,
Atas dasar itu semua, upaya penyadaran,
penegakan harkat dan martabat kemanusiaan ini penting untuk dilakukan. Kemudian
untuk tujuan yang pragmatis para partisipan dalam komunitas religius dan dalam
komunitas yang peduli terhadap hak asasi manusia harus mempertimbangkan
ekspresi-ekspresi hak asasi manusia dalam produk kesadaran yang kuat dan
masyarakat yang berbeda-beda dan yang dipengaruhi oleh perbedaan
tradisi-tradisi kultural mereka sendiri.
Selain itu, karena pelanggaran hak asasi
manusia satu terhadap lainnya hingga kini masih terus berlangsung, kita
berharap dapat melihat momen-momen kesadaran lebih maju dan bentuk-bentuk hak
asasi manusia berkembang. Harapan tertinggi yang dapat dicapai adalah
pengetahuan tentang hak-hak kultural penduduk asli dan merupakan hasil dari
kemajuan klaim terhadap hak-hak yang ditujukan untuk memberi perlindungan yang
sarat dengan nilai-nilai penduduk asli.
E.
Daftar Pustaka
Freeman, Michael, ”Human Rights an
Interdisciplinary approach,” Cambrige, Polity Press, 2002
Kalsay, John dan Sumner B. Twiss, “Agama dan Hak
Asasi Manusia,” Yogyakarta, Interfidei, 2007
Litle David, John Kelsey dan Abdul aziz A. Sachedina, “Kebebasan beragama dan Hak Asasi Manusia. Yogyakarta,
ACAdeMIA, 1997.
Mahendra, Yusril Izza, “Konsepsi Islam Tentang HAM dan Persaudaraan”, Jurnal Dirosah
Islamiyah, 1, 2003
Malian, Sobirin, Suparman Marzuki, “Pendidikan
Kewarganegraan dan Hak Asasi Manusia,” Yogyakarta; UII Press, 2002
Munib, Muhammad, Islah Bahrawi, Islam dan Hak Asasi Manusia Dalam Pandangan
Nurcholish Madjid, jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama, 2011.
Purnomo, Aloys Budi, “Rakyat Bukan Tumbal kekerasan
dan Kekuasaan” Jakarta, PT. Gramedia Pustaka Utama. 2007.
[2] Lihat Aloys Budi Purnomo “Rakyat Bukan Tumbal kekerasan dan Kekuasaan”
Jakarta, PT. Gramedia Pustaka Utama. 2007. Hal. 122.
[3] Lihat David litle, John Kelsey dan
Abdul aziz, “Kebebasan
beragama dan Hak Asasi Manusia. hal. xi
[4] Muhammad Munib, Islah Bahrawi,
Islam dan Hak Asasi Manusia Dalam Pandangan Nurcholish Madjid,
jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama, 2011.hal. 38-39
[5]Heiner Bielefeldt, 1995, “Moslem Voices in Human
Rights Debate“ dalam Human Rights Quarterly, No. 17 Vo. 4, John Hopkins
University Press. dikutip dari Supriyanto Abdi, 2002,” Mengurai …., hlm.71.
[6]Muhammad Munib, Islah Bahrawi,
“Islam dan Hak Asasi Manusia Dalam.........................., hal. 39
[7] Penolakan-penolakan dan tantangan-tantangan tersebut makin diperburuk
dengan diskursus yang terjadi akhir-akhir ini, yang menyesatkan dan menyebabkan
terjadinya benturan peradaban dan kebudayaan dalam arena politik global;
lihat, John Kasley dan Summer; “agama
dan hak-hak asasi manusia”, 2007. Hal 58.
[8] Lihat Michael Freeman,”Human Rights.................hal 101
[9] Ibit.
[10] Ibit. 103
[11]Muhammad Munib, Islah Bahrawi,
Islam dan Hak Asasi Manusia Dalam Pandangan Nurcholish Madjid,
jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama, 2011.hal. 46.
[12] Lihat Michael Freeman,”Human Rights.................hal 108
[13] Karena itu sesama manusia tidak diperkenankan untuk membedakan satu
dari yang lain dalam hal harkat dan martabat. Hanya dalam pandangan Allah manusia berbeda-beda dari
satu pribadi ke pribadi lainnya dalam hal kemuliaan berdasarkan tingkat
ketaqwaan kepada Allah. Sedangkan sesama manusia, pandangan yang benar adalah bahwa
semua pribadi adalah sama dalam harkat dan martabat, dengan imbasnya dalam
kesamaan hak dan kewajiban asasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar